“Antrian nomer berapa, nak?”,
sapa perempuan yang baru saja duduk disebelahku. Dari awal masuk pintu ruangan
yang begitu sejuk ini, ibu berusia skitar 70 tahunan ini memang telah menarik
perhatianku dan mungkin juga orang-orang yang duduk berjejer menanti giliran
nomernya dipanggil.
“Nomer 46 B, bu. Klo ibu nomer
berapa?”, kubalik bertanya.
“108 A, nak”, jawabnya sembari
memperlihatkan kertas kecil hasil print
out ketika masuk tadi.
Kami sama-sama sedang antri
disebuah bank. Sengaja pulang kantor kulangsung kesini, minta pergantian kartu
ATM yang sudah melewati limit waktu.
Transaksi perbankan sekarang memang sangat mudah, bahkan seseorang bisa berkirim uang dari mana saja
dan kapan saja dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Praktis, aman dan
nyaman.
“Ooo, ibu nanti ke teller ya?.
Klo saya ada keperluan sama customer
servicenya, bu”, sambungku.
“Iya,nak..ibu mau berkirim uang
untuk anak ibu. Dia di Jakarta”, jawabnya tersenyum sambil merapikan jilbab
yang sedikit miring hingga anak-anak rambut yang mulai memutih menyembul
keluar. Matanya terlihat lelah. Tiba-tiba aku teringat nenek. Kira-kira beliau
seusia ibu ini.
Antrian yang cukup lama membuatnya
punya kesempatan bercerita. Aku tidak banyak bertanya, hanya saja si ibu
menyambung sendiri keterangan demi keterangan. Tiba-tiba ku tersenyum sendiri.
Teringat masa-masa yang dilalui. Sejak SMP sampai sekarang aku sering dijadikan “tong sampah”
kisah-kisah. Meskipun tak mengerti apa yang sedang mereka ceritakan, tetapi
yang kulakukan hanya lah mendengar. Setelah selesai, mungkin hanya bisa sedikit
memberi saran. Itupun jika aku paham. Entah tentang pacar-pacar mereka,
kejahatan seksual yang mereka alami atau kisah-kisah rumah tangga dari yang
tragis sampai berseri namun penuh duri. Ah..inilah yang namanya hidup.
Rangkaian kisah demi kisah yang pasti berakhir. Kadang karena keseringan
mendapat cerita inilah yang membuatku sedikit hati-hati dalam segala hal.
“Anak ibu empat orang, 2 pasang.
Semuanya merantau. Bapak sudah lama meninggal. Tapi sanak saudara ada disekitar
rumah, jadi ibu tak kesepian. 3 orang anak ibu sudah menikah. Semuanya
macam-macam perangainya. Mereka sudah berkeluarga tapi sering minta uang pada
ibu. Ada-ada saja alasannya. Yang namanya seorang ibu, tentu tak sampai hati
kalau anak sudah mengeluh kesusahan. Syukurlah ibu masih mampu berdagang.
Sedikit-sedikit uang ibu tabung. Tapi setiap terkumpul, ada saja anak yang
membutuhkan”.
Kusimak curhatan ibu ini dengan
seksama, sambil menatap bola matanya yang tak lagi jernih. Sekuat atau sebugar
apapun beliau, pasti setiap sendi dan organ tubuh telah kurang fungsinya
termakan usia. Tapi semangatlah yang membuatnya kelihatan kuat. Seharusnya
beliau sekarang telah beristirahat. Setidaknya rehat dari memikirkan kebutuhan
anak. Tapi nyatanya? Lelah belum
berakhir.
“ Jadi sekarang ibu mentransfer
uang untuk anak ibu yang mana?. Yang suaminya pengangguran, atau anak lelaki
ibu yang sakit itu?”, kali ini aku yang penasaran.
“Bukan, kalau mereka bulan lalu
sudah ibu kirim sedikit uang. Kali ini ibu
mau memasukkan uang ke rekening anak ibu yang bungsu. Sebetulnya dia
sudah bekerja dan tidak meminta. Tapi ibu tahu, berapalah gaji sebagai pelayan
toko. Dia anak bujang. Ibu kasihan. Dia tak mau sebetulnya ibu kasih uang, tapi
ibu merasa tak adil, kakaknya yang telah berkeluarga saja ibu bantu. Tapi dia
tidak pernah. Ibu takut nanti dikemudian hari dia mengumpat pada ibu”,
sambungnya.
“Allahu akbar", desisku membatin.
Sebetulnya hatimu terbuat dari apa, bu?. Susah payah engkau membesarkan mereka
sampai akhirnya semua beranjak dewasa, bahkan telah berkeluarga. Dan
sekarang, semua keluhan mereka engkau tampung dan fikirkan?. Bukankan sekarang
anak gadismu sudah bersuami dan punya tanggung jawab penuh padanya? Dan
bukankah anak lelakimu sudah tumbuh kekar dan punya bekal kaki dan tangan untuk
mengais rezeki yang tersimpan dibumi atau menggantung dilangit?, lalu kenapa
masih bersandar pada tubuh renta yang setiap hari harus menjual sayur dan
kelapa?
Mungkin nasib itu berbeda-beda.
Tetapi sebagai anak, jika telah dewasa apalagi telah berkeluarga, usahakanlah
untuk tidak menceritakan kesusahan pada orang tua. Jika tiada bisa memberi tak
apa-apa. Tetapi ceritakanlah hal-hal bahagia saja. Karena sudah menjadi fitrah
orang tua memikirkan anak sepanjang hayatnya.
Kugenggam tangan si ibu yang
mulai keriput, kukatakan “ sabar ya, bu..Allah tahu betapa dalamnya kasih
sayang ibu pada mereka. Jaga kesehatan ibu”.
“Makasih, Nak. Anak ibu ini Bidan
ya?”, tanyanya sambil mengamati seragam putih yang kukenakan.
“Tidak, bu..Saya Apoteker. Bagian
Obat”, kupilih kata yang mengundang anggukan dan senyumnya tanda mengerti.
***
NOMER ANTRIAN 46B, CS 2. Melalui
pengeras suara giliranku dipanggil. Setelah pamit pada ibu tadi, aku melangkah
gontai menuju meja CS. Menarik nafas dan melepaskannya perlahan.