Tentang Perjalanan

"Hidup adalah tentang sebuah perjalanan, dimana seseorang yang diam menetap tidak akan bisa berkembang sedangkan yang berpindah-pindah selalu mendapatkan kejutan dari sang pencipta yang membuat kita berbeda dari orang lain."

Tentang Kehidupan

"Jangan takut oleh kemarahan orang sehingga kita takut berkata dan bersikap jujur."

Tentang Kesungguhan

"Ketika kamu lelah dan kecewa, maka saat itu kamu sedang belajar tentang kesungguhan."

Tentang Kebijaksanaan

"Orang bijak menemukan kebijaksanaannya melalui kerasnya kehidupan."

Tentang Kesabaran

"Sejak kita menginginkan kebahagiaan dan kesuksesan, sejak itu pula kesabaran menjadi kewajiban kita."

Selasa, 31 Mei 2016

Waspada, Penipu yang memanfaatkan perasaan ibu!!


Siang itu kami dikejutkan oleh tangisan tiba-tiba salah seorang bidan di Puskesmas. Dengan terbata-bata seorang ibu yang ku kenal sangat perhatian pada anak-anaknya ini bilang sambil menangis, " Dito kecelakaan, sekarang ga sadar. Dibawa ke Rumah sakit M. Djamil Padang". Sedu sedannya membuat semua resah, dan terbawa perasaan. Bagaimana tidak, Ni Nai (demikian biasanya bidan ini di panggil) bekerja di kota yang cukup jauh dari rumahnya. Berdomisili di Padang dengan jarak sekitar 45KM dari puskesmas tempat kami sama-sama bekerja. 

Suasana menjadi riuh karna sang ibu yang tidak tahan mendengar kabar buruk ini terus menangis. Sembari menunggu ambulans puskesmas yang bersedia mengantar ni Nai ke Padang, kami terus berupaya menenangkan. Tapi mana mungkin perasaan seorang ibu bisa tenang jika mendapat kabar seperti itu. Apalagi belum ada keluarga yang menyusul Dito ke rumah sakit, sementara sang ayah juga diluar kota. Wajar saja jika air putih yang ku berikan ditepis, "Uni ndak bisa minum doh, Len", tersedu dia berkata. 

Tiba-tiba ku teringat pada teman yang bekerja di RS. M Djamil, dan beberapa teman yang lain juga berinisiatif menelfon pihak IGD RS. Tujuan kami semula adalah, untuk memastikan kondisi Dito, siswa SLTP yang dikabarkan kecelakaan.

Setelah berhasil dihubungi, kami mendapat kabar bahwa saat itu tidak ada pasien IGD yang bernama Dito. Kemudian dapat lagi informasi kalau tidak ada siswa kecelakaan yang masuk IGD. kami terkesiap. Ini pasti ada yang tidak beres. Kami tanya sama ni Nai, " apakah orang yang menelfon suami Uni ada minta uang?", ternyata memang begitu adanya. Kepada sang ayah, orang yang menelfon mengatakan minta ditransferkan sejumlah uang untuk membeli alat guna penanganan korban di rimah sakit. Darurat, begitu suasana yang digambarkan

Demi mendengar sepenggal penjelasan tadi, kami yakin. Ini adalah penipuan. Akhirnya Dito bisa dihubungi. Dia baik-baik saja. Uang 15 juta selamat.

Kejadian yang sama juga pernah dialami oleh Uni Mardalena di Puskesmas Marunggi. Dzaki anaknya yang sekolah di tempat suami saya mengajar, dikabarkan orang yang tidak dikenal telah mendapat kecelakaan dan sedang kritis di rumah sakit. Persis seperti yang dibilang pada suami Ni Nai diatas, si Penipu juga minta dikirimi uang 15 juta. Dia detail sekali menyebutkan nama alat yang dibutuhkan untuk menangani korban kecelakaan tersebut. Suasana juga dibuat panik. Bahkan saat itu ni Len sudah sampai di bank untuk mentranferkan uang sejumlah 15 juta yang diminta. Syukurlah, Allah menyelamatkan. Antrian teller rame, sehingga ni Len mulai bisa berfikir jernih. Meminta ku menelfon suami guna memastikan kondisi Dzaki. 

" Uda, Dzaki kecelakaan, sekarang kritis. Bisa uda pastikan keadaannya?", tersengal kutanya via telfon. Dengan tenang uda menjawab " barusan Dzaki lewat di depan kantor Uda sama teman-temannya. Dia baik-baik saja, Yang", jawab Uda. Secepat kilat ku tutup telfon dan kembali menelfon ni Len. 

"Uangnya sudah Uni transfer?,
"Belum, Len..masih antri"
"Alhamdulillah, ini penipuan,ni. Dzaki baik-baik saja".


Allahuakbar.  Selamatlah. Kesannya ini penipuan sederhana, tak mudah mengecoh orang. Tetapi faktanya, kabar buruk seperti ini dapat mengobrak abrik perasaan orang tua terutama ibu. Sehingga sulit sekali berfikir dengan tenang. 


Berhati-hati sajalah jika mendapat kabar seperti ini. 
Semoga bermanfaat

Senin, 30 Mei 2016

Samudera Di Hati, Surga Di Telapak Kaki


Pagi yang begitu indah. Awan berarak cantik, seperti kapas membentuk lukisan berbagai rupa. Ada ibu-ibu dan bapak-bapak berpakaian dinas putih, krem dan hijau berjalan cepat menuju bis. Ada juga anak sekolah berseragam putih merah, putih biru dan putih abu-abu lalu lalang berburu waktu. Dipersimpangan terlihat tukang ojek yang setia mangkal dengan mata awas mencari penumpang. Pedagang sarapan berjejeran, sesekali tersenyum manis pada siapapun yang melirik, penuh semangat , berharap ada yang membeli. Alhamdulillah, semua bertebaran di bumi Allah.

Kupilih bis berkecepatan terukur. Biasanya, 1 jam 5 menit tembus, sampai di kota tempat ku mengabdi. Aih, pegawai negri. Berangkat pagi setiap hari.

Duduk dekat jendela paling ku suka. Merenung sambil menatap pemandangan disepanjang jalan bagiku adalah sebuah keasyikan. Pernah suatu kali bis berhenti agak lama. Dari balik kaca jendela, ku lihat orang gila yang sedang khusuk menikmati sisa-sisa makanan dari tong sampah. Terlintas difikiranku, alangkah besarnya nikmat akal fikiran yang Allah berikan. Hingga tak layak jika kita minim rasa syukur. Saking lamanya ku menatap, saat bis akan berangkat, orang gila itu melihatku. Sedikit bergidik, ketika matanya berkedip sebelah padaku. Ah, akal saja yang salah rupanya. yang lain tidak. Astaghfirullah, syukurlah bis ini segera melaju. Huuuu..

Lebih kurang lima kilometer perjalanan, bis berhenti. Seorang ibu paruh baya naik dengan anak perempuan, kuperkirakan berusia delapan tahun. Dia duduk persis disampingku sambil memeluk anaknya. Baru saja bis melaju, gadis kecil ini berteriak dengan suara 'aneh'. Apapun bunyi yang keluar dari mulutnya, kedengaran sama. Kemudian baru kusadari kalau anak ibu ini seorang tuna rungu-wicara. Selain tuna rungu ia juga mengalami voice disorder.

Yang membuat aku kagum adalah, ibu ini lembut sekali pada anaknya. Dia berbisik meskipun anaknya tak bisa mendengar, "sayang, tenang ya...tidak apa-apa, ini ibu, nak". Sembari mengelus tulus kepala anaknya. Bahasa kalbu anak dengan sang ibu. Seketika gadis kecil yang didandani dengan gaun pink lembut dan pita kecil di rambut ini terdiam. Meskipun jika mobil tiba-tiba berhenti atau ngerem, dia kembali berteriak dengan suara seperti semula. 

Gadis kecil berponi, walaupun 'beda', anak ini bersih dan wangi. Jelas kalau ibunya telaten merawat. Kulitnya bersih, dipergelangan tangan ada asesoris gelang ala anak-anak. Jika sedang diam, ga ada yang tahu kalau dia 'istimewa". Ku lempar senyum pada wanita hebat disampingku itu, dia balas dengan lengkungan cantik sudut bibirnya. Tulus itu semakin memancar. Sekilas ku lirik wajahnya, tampak, betapa kesabaran tergambar dari air mukanya. Dititipi Allah anak seperti ini, tak menghadirkan rasa risih sedikitpun. Bahkan tiap sebentar dia mencium pipi anaknya, sambil sesekali menunjuk keluar jendela, "itu pohon, itu sawah, nak". Sesekali anaknya tersenyum, saat itulah dia cium kembali pipi anaknya dengan penuh kasih. 

Kembali ku lempar pandangan ke balik jendela. Sembari menatap langit biru dan burung yang sedang mengepakkan sayapnya, ku bicara pada hati : " sungguh, wanita disebelahku luarbiasa. Dikaruniai samudera di hati dan surga di telapak kaki. Berkahi hidupnya, Ya Allah..". Pagi dengan sebuah pembelajaran.



*untuk yang membuang, menyiksa dan bahkan membunuh anak sendiri, apa kabar?
  Padang, Penghujung Mei '16



Sabtu, 28 Mei 2016

Menyelami Kedalaman Rasa




Seorang sahabat yang ikut jadi relawan ketika bencana tsunami Aceh tahun 2004 lalu bercerita, bahwa saat itu sangat sulit baginya untuk menasehati keluarga korban yang mendapat musibah "saya tiba-tiba dihardiknya ketika mengatakan jangan bersedih dan menangis, padahal dia harus memahami kalau ini takdir", kata lelaki berkaca mata minus ini.  Mendengar penuturan teman yang selama ini saya tahu bagaimana kiprahnya di dunia kampus, membuat hati saya berbisik " itu karena kamu belum merasakannya, kawan". Menatap hamparan mayat, berdiri seorang diri tanpa satupun keluarga yang tersisa membutuhkan waktu untuk recovery jiwa. Jangan buru-buru mengukur imannya. Atau pemahamannya tentang takdir.

Seorang ibu paruh baya sikapnya berubah, tidak lagi sibuk bertanya pada anak gadis temannya yang ketika telah berusia kepala tiga tapi belum kunjung menikah. Biasanya dia yang paling usil berbisik-bisik dan menyindir,  "kapan lagi kamu menikah? manisnya gadis duduk di pelaminan itu tampak ketika menikah di usia sebelum tiga puluhan lho".  Tanpa peduli betapa perih hati si gadis, dia terus menceracau. Katanya peduli, tapi cenderung melukai. Beberapa tahun kemudian si ibu tadi berubah. Menjadi sangat bijaksana dan sering mengatakan " sabar saja, jodoh itu Allah yang menentukan". Kalimat bagus dan menyejukkan. Apa pasal? Karena saat ini tiga orang anak gadis dan satu orang anak lelakinya belum menemukan pendamping hidup. sementara mereka semua sudah berusia hampir empat puluh tahun. Lagi. Rasa hadir setelah mengalami. 

Sekitar sembilan tahun yang lalu, sebuah kecelakaan tragis dialami oleh suami teman sekantor saya, beliau meninggal ditempat. Semua berduka. Mereka pasangan muda yang baru dikarunia seorang anak dengan usia belum genap satu tahun. Ibu-ibu di kantor yang ikut melayat turut larut dalam tangis kesedihan. Bagaimana tidak? tangisan bayi kecil buah cinta mereka ketika sang suami dikafani mengiris perasaan semua orang. Saya saat itu juga hadir disana, turut sedih dan berduka. Tapi saya tak bisa menangis. Empati pasti, tapi kedalaman rasa tak sama dengan ibu-ibu yang berlinangan airmata. Kenapa? Karena saat itu saya masih gadis, saya belum bisa merasakan dengan teramat sangat betapa perihnya kehilangan suami. Bagaimana rasanya cinta pada kekasih hati. Lagi-lagi, rasa yang dalam baru terselami jika kita telah mengalami. Sangat berbeda dengan perasaan ketika saya mendapat kabar suami teman saya meninggal sebulan yang lalu.Padahal kejadiaannya jauh, tapiairmata turut merebak. Saya terbayang keadaan teman saya yang harus membesarkan empat orang anak-anaknya. Beda, saya sekarang adalah seorang istri. 

Suatu hari ada seorang wanita datang ke rumah tetangganya yang cukup berada. Menceritakan kesulitannya. Uang kuliah anak yang sudah lewat waktu tapi belum dibayar, ditambah lagi biaya kebutuhan hidup yang semakin menghimpit. Dengan pedas sang tetangga menjawab, "kamu sih, ga mampu masih saja nyekolahin anak tinggi-tinggi. Ga mengukur bayang-bayang".Tidak melapangi, tapi menyiramkan asam di luka menganga. Perih. Bicaranya tanpa rasa, karena dia memang  tak pernah merasakan pahitnya kekurangan. 

***

Jika ada yang sedang bergulat dengan kesedihan, penantian, pahit hidup atau kehilangan, mungkin kita bisa berempati. Turut sedih dan merasakan. Tapi kadar rasa itu akan sangat berbeda ketika kita pernah mengalami kejadian yang sama, mirip atau sudah berada di gelombang' yang sama.

Anda pernah gagal dan sekarang sukses? Anda akan menjadi motivator ulung yang mampu membuat kembali berdirinya orang-orang yang tersungkur. Anda pernah diremehkan dan sekarang perjuangan anda membuahkan hasil? Anda lah yang bisa membangkitkan semangat orang-orang yang sedang menyulam mimpi dengan keringat perjuangan. Anda menikah diusia yang teramat "matang"? Kalimat-kalimat positif anda lah yang akan menumbuhkan semangat gadis-gadis dalam penantian. 

Insyaallah, kita semua akan saling meneguhkan, nasehat-menasehati dan peduli. Tapi sungguh, menyelami rasa sampai ke dasar baru bisa jika kita pernah mengalami. Jadi jangan buru-buru menjustifikasi jika nasehat kita belum menyentuh hatinya. Bukan tidak memahami, bukan juga tidak ada iman di hati. Tapi biarlah dia luapkan dulu rasa yang menghimpit dada, sampai ketika dia temukan makna. 

Selamat menyelam di kedalaman rasa..

Senin, 09 Mei 2016

Membiasakan Diri Membaca Berita Dibalik Berita


Sebagai makluk sosial, manusia tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan sebatas dirinya saja. Sangat diperlukan informasi-informasi lain untuk menambah wawasan dan khasanah pemikiran. Semakin banyak seseorang menyerap informasi, baik lewat media cetak, elektonik maupun informasi dan audio visual, semakin luaslah cakrawala pemahamannya. Tentu hal ini akan sangat mendukung saat berkomunikasi dengan orang lain.

Namun beberapa tahun belakangan, ketika kebebasan berfikir dan berpendapat begitu dimanjakan, kita membutuhkan "alat" sebelum memutuskan untuk mereguk nikmatnya sebuah informasi atau berita. Kenapa? Karena saat ini, tidak lagi semua berita bisa kita percaya begitu saja. Banyak sekali tulisan yang kadung dikonsumsi publik, tetapi isinya adalah fakta yang diplintir sedemikian rupa sehingga kehilangan makna yang sesungguhnya.

Pernahkah anda membaca sebuah headline news yang begitu menggelitik, lalu ketika dilihat isinya, sangat jauh panggang daripada api? Semisal, "Politikus XYZ; dari korupsi sampai nikah beda agama". Ketika kita buka link nya, memang berita korupsi yang ditulis adalah tentang politikus bernama XYZ, tetapi soal nikah beda agamanya adalah tokoh kedua yang juga diberitakan dengan judul yang sama. Coba bayangkan jika pembaca hanya membaca headline nya saja, tentulah pelaku yang dikira adalah si XYZ ini . 

Selain itu, ada juga berita yang dibuat berulang-ulang, beruntun sehingga dapat menggiring opini masyarakat. Seperti pemberitaan tentang sebuah kasus  pemerkosaan. Kita patut bersimpati pada korban atas kejadian yang dilakukan oleh orang-orang tak bermoral ini. Hanya saja, adakalanya sekelompok orang memanfaatkan momentum ini untuk memunculkan opini bahwa tidak ada hubungan antara berpakaian sopan dengan kasus pemerkosaan. Mungkin untuk kasus yang sedang dibahas saat ini tidak ada hubungannya, tetapi tidak bisa juga digeneralisir bahwa menutup aurat itu tak ada fungsinya untuk menjauhkan diri dari kejahatan. Idealnya, sebuah pembahasan harus komprehensif, sehingga ditemukan benang merah dan hubungan sebab akibat yang betul-betul jelas.

Banyak sekali contoh pemberitaan yang membutuhkan nalar dan analisa matang sebelum "ditelan". Nah,  alat yang dimaksud diatas adalah "filter/saringan". Kita butuh fikiran jernih dan tajam  sebelum menerima sebuah informasi. Jika tidak, maka kita akan menjadi "pembebek" yang mau saja digiring kemana dunia menghendakinya. 

Kemampuan membaca berita dibalik berita tidak hadir serta merta, tetapi juga perlu latihan. Kita perlu membiasakan diri membandingkan informasi dari berbagai sumber. Jadi jangan pernah sekali membaca lalu membuat opini. Tetapi bacalah dari berbagai referensi. Diskusikan dan baru simpulkan. Dengan demikian, kita tidak akan mudah terombang ambing dizaman yang memang sedang pada fase "mengombang ambing".

Sekian

Kamis, 05 Mei 2016

Petisi Aneh!!

Jika setiap orang bisa berpendapat, saya pun juga ingin mengutarakan pandangan. Bukankah saat ini era bebasnya berkomentar? Saking leluasanya, terkesan cenderung kebablasan. Yang tak penting menjadi penting. Yang tak ada, di ada-adakan, yang tak krusial dibikin heboh. Tetapi ketika ada yang sangat penting, berbahaya, bahkan mengancam sekalipun, ; diputarbalikkan, disembunyikan, dikaburkan. Ah, zaman edan!

Seminggu belakangan di media sosial banyak tersebar sebuah petisi menyoal seorang ustadzah yang dianggap tidak "kompeten" tampil di televisi. Ustadzah muda iu dianggap terlalu prematur untuk "dinobatkan" sebagai seorang ustadzah, ilmu agamanya dianggap kurang mumpuni dan selalu tampil mewah setiap kali tampil didepan umum. 

Menurut hemat saya, sebetulnya ga ada yang salah dengan "pendakwah" ini. Jika ada kesalahan pada dirinya, itu adalah karena beliau KURANG LUCU, TIDAK BISA MELAWAK, KAJIANNYA LUGAS, TIDAK BASA BASI MENYAMPAIKAN KEBENARAN, MENGUPAS AYAT-AYAT ALLAH SEBAGAIMANA KEBENARAN DALAM AYAT ITU SENDIRI. 

Jika bicara tentang mumpuni atau tidak, betapa banyak orang-orang yang diberi label sama dan nangkring di televisi dari dahulu kala yang isi kajiannya cuman lawakan, ngasih kajian sesuai logika pribadinya dan menari-nari, manjat-manjat hingga ngakak nyanyi dangdutan bersama jama'ah? Ga di protes tuh! 

Ooo, dikatakan ga punya basic nyantri atau kuliah agama. Heiii, ngaji itu bisa dimana aja braaaay! Kajian di kampus juga ga sedikit mendulang hidayah dan melahirkan pendakwah yang pemahaman agamanya tak kalah hebat. 

Jadi petisi ini maksudnya apa? Mau mengkebiri orang-orang untuk menyampaikan kebenaran didepan umum? Mempersempit arena dakwah dan hanya memberikan kewenangan itu pada orang-orang tertentu saja? Bukankan Islam mengajarkan agar umatnya menyampaikan kebaikan itu walaupun satu ayat?

Apalagi? soal penampilan yang dikatakan bermewah-mewah? Jadi maunya gimana? Penyeru dakwah harus tampil dekil begitu? Bukankah Ustadzah yang sedang dihujat ini selalu tampil dengan pakaian syar'i bahkan menginspirasi? Kalau ada yang tabaruj dengan make up menor mungkin ga perlu dikasih petisi kali ya? Kenapa? Jelas! Karena itu kesalahan yang nyata. 

Saya tidak sedang membela sebetulnya, tetapi sekali lagi saya merasakan kalau zaman terutama negeri ini benar-benar semakin edan! Ketika kebenaran dan kebaikan ditekan dan kebatilan disupport habis-habisan. Lanjut sajalah ustadzah OSD, kali ini yang disorot itu anda, tapi bukan tidak mungkin nanti ada lagi petisi lain buat "orang-orang" yang semangat dakwahnya tinggi seperti anda, tapi hanya keluaran kampus umum, idealis, terutama ga bisa jingkrak-jingkrak dan ngakak.

Wallahu'alam







Selasa, 03 Mei 2016

Engkau Sentil Aku dengan Arrahman!



Bismillah...

Untuk menjadi, kita tak bisa sendiri..
Untuk sebuah perubahan, pasti ada proses yang dilalui..
Bisa saja instan, tapi menguapnya cepat..
Mudah meleleh oleh panas dan membeku oleh dingin.. 

Untuk sebuah pencarian, kita butuh penunjuk jalan..
Ramah, berjamaah adalah ghirah..

Ketika ku paham, ku hijrah, ku lepas..
Engkau TAK tertawa lepas..
Tetap menatapku dekat..
Dan menyapaku hangat

Tak memandang sinis..
Tapi menyusun strategi manis..

Sepasang mujahid dan mujahidah muda dalam ikatan mistaqan ghaliza..
Silaturahim, menterjemahkan ayat-ayat illahi..

fabiayyi alaa irobbikumaa tukadzibaan..
fabiayyi alaa irobbikumaa tukadzibaan..
fabiayyi alaa irobbikumaa tukadzibaan..

Aku yang lupa, engkau ingatkan..
Aku yang salah, engkau luruskan..
Aku yang lemah, engkau kuatkan..


minggu pertama..
minggu kedua..
minggu ketiga..

tanpa lelah, 
Arrahman dikupas sudah..


Engkau buat kucemburu dengan kemesraanmu..
Bersinergi, bersemangat..
Bahkan jundi kecilmu engkau titipkan padaku..
"Belajar punya anak," katamu menggelitik kesendirianku..

Ah, keluarga dakwah..
Aku "iri" kawan..

Allah sayang padaku..
Lewat gigih kalian aku masih diberi-NYA kesempatan..
Menikmati kembali manisnya "lingkaran"
Hangatnya halaqah dan ukhuwah..

Tak lagi ku lepas..
Manisnya sudah menjadi kebutuhan..

Jika sekiranya ada sakinah, mawaddah dan rahmah dihidupku..
Biarlah nanti aku yang menjadi saksi..
Bahwa ada engkau berdua yang "menghantarkan diri"
Mengajakku "kembali"..

Hari ini, engkau tak bersamanya lagi..
Tiba-tiba..
Akupun seakan tak percaya..

Tapi inilah hidup, kawan..
Perpisahan adalah sebuah keniscayaan..

Jannahnya adalah tujuan..
Semoga kelak kembali Allah pertemukan..



*Just for Retiarni Eldiana..My Luphly Ukhti..semoga tabah, nek...semoga 4 cahaya mata bisa membuat duniamu kembali terang..innalillahi wa inna ilaihi roji'un..














Senin, 02 Mei 2016

Gerbong 1 ; 15E


Pada dingin yang menusuk
Pada embun bening
Pada pagi harapan
Gairah langkah memijak bumi

Gerak hadir jika ada mau
Pilih saat
Pilih nilai
Pilih jenis

Deru 1, 2,3,4,5 melaju melesat
Dicampur hawa udara terkondisi
Ada yang terkantuk kantuk
Ada yang menekur tafakur menatap benda berlayar kecil

Owh, dipojok..
Sepasang mata bening komat kamit menatap kertas
Mungkin hafalan yang belum selesai tadi malam
Sementara kuis menanti sinis

Di pagi nan murah dan sejuk
Tanpa kantuk..
Dengan imajinasi berkeliaran
Disini..
Gerbong 1 ; 15E
Seragam putih berjilbab biru..
Aku..



Selasa, 030416