Sabtu, 28 Mei 2016

Menyelami Kedalaman Rasa




Seorang sahabat yang ikut jadi relawan ketika bencana tsunami Aceh tahun 2004 lalu bercerita, bahwa saat itu sangat sulit baginya untuk menasehati keluarga korban yang mendapat musibah "saya tiba-tiba dihardiknya ketika mengatakan jangan bersedih dan menangis, padahal dia harus memahami kalau ini takdir", kata lelaki berkaca mata minus ini.  Mendengar penuturan teman yang selama ini saya tahu bagaimana kiprahnya di dunia kampus, membuat hati saya berbisik " itu karena kamu belum merasakannya, kawan". Menatap hamparan mayat, berdiri seorang diri tanpa satupun keluarga yang tersisa membutuhkan waktu untuk recovery jiwa. Jangan buru-buru mengukur imannya. Atau pemahamannya tentang takdir.

Seorang ibu paruh baya sikapnya berubah, tidak lagi sibuk bertanya pada anak gadis temannya yang ketika telah berusia kepala tiga tapi belum kunjung menikah. Biasanya dia yang paling usil berbisik-bisik dan menyindir,  "kapan lagi kamu menikah? manisnya gadis duduk di pelaminan itu tampak ketika menikah di usia sebelum tiga puluhan lho".  Tanpa peduli betapa perih hati si gadis, dia terus menceracau. Katanya peduli, tapi cenderung melukai. Beberapa tahun kemudian si ibu tadi berubah. Menjadi sangat bijaksana dan sering mengatakan " sabar saja, jodoh itu Allah yang menentukan". Kalimat bagus dan menyejukkan. Apa pasal? Karena saat ini tiga orang anak gadis dan satu orang anak lelakinya belum menemukan pendamping hidup. sementara mereka semua sudah berusia hampir empat puluh tahun. Lagi. Rasa hadir setelah mengalami. 

Sekitar sembilan tahun yang lalu, sebuah kecelakaan tragis dialami oleh suami teman sekantor saya, beliau meninggal ditempat. Semua berduka. Mereka pasangan muda yang baru dikarunia seorang anak dengan usia belum genap satu tahun. Ibu-ibu di kantor yang ikut melayat turut larut dalam tangis kesedihan. Bagaimana tidak? tangisan bayi kecil buah cinta mereka ketika sang suami dikafani mengiris perasaan semua orang. Saya saat itu juga hadir disana, turut sedih dan berduka. Tapi saya tak bisa menangis. Empati pasti, tapi kedalaman rasa tak sama dengan ibu-ibu yang berlinangan airmata. Kenapa? Karena saat itu saya masih gadis, saya belum bisa merasakan dengan teramat sangat betapa perihnya kehilangan suami. Bagaimana rasanya cinta pada kekasih hati. Lagi-lagi, rasa yang dalam baru terselami jika kita telah mengalami. Sangat berbeda dengan perasaan ketika saya mendapat kabar suami teman saya meninggal sebulan yang lalu.Padahal kejadiaannya jauh, tapiairmata turut merebak. Saya terbayang keadaan teman saya yang harus membesarkan empat orang anak-anaknya. Beda, saya sekarang adalah seorang istri. 

Suatu hari ada seorang wanita datang ke rumah tetangganya yang cukup berada. Menceritakan kesulitannya. Uang kuliah anak yang sudah lewat waktu tapi belum dibayar, ditambah lagi biaya kebutuhan hidup yang semakin menghimpit. Dengan pedas sang tetangga menjawab, "kamu sih, ga mampu masih saja nyekolahin anak tinggi-tinggi. Ga mengukur bayang-bayang".Tidak melapangi, tapi menyiramkan asam di luka menganga. Perih. Bicaranya tanpa rasa, karena dia memang  tak pernah merasakan pahitnya kekurangan. 

***

Jika ada yang sedang bergulat dengan kesedihan, penantian, pahit hidup atau kehilangan, mungkin kita bisa berempati. Turut sedih dan merasakan. Tapi kadar rasa itu akan sangat berbeda ketika kita pernah mengalami kejadian yang sama, mirip atau sudah berada di gelombang' yang sama.

Anda pernah gagal dan sekarang sukses? Anda akan menjadi motivator ulung yang mampu membuat kembali berdirinya orang-orang yang tersungkur. Anda pernah diremehkan dan sekarang perjuangan anda membuahkan hasil? Anda lah yang bisa membangkitkan semangat orang-orang yang sedang menyulam mimpi dengan keringat perjuangan. Anda menikah diusia yang teramat "matang"? Kalimat-kalimat positif anda lah yang akan menumbuhkan semangat gadis-gadis dalam penantian. 

Insyaallah, kita semua akan saling meneguhkan, nasehat-menasehati dan peduli. Tapi sungguh, menyelami rasa sampai ke dasar baru bisa jika kita pernah mengalami. Jadi jangan buru-buru menjustifikasi jika nasehat kita belum menyentuh hatinya. Bukan tidak memahami, bukan juga tidak ada iman di hati. Tapi biarlah dia luapkan dulu rasa yang menghimpit dada, sampai ketika dia temukan makna. 

Selamat menyelam di kedalaman rasa..

3 komentar:

  1. Begitu menyentuh uni... memang benar sekali empati itu akan hadir jika kita sdh mengalaminya.

    BalasHapus
  2. Begitu menyentuh uni... memang benar sekali empati itu akan hadir jika kita sdh mengalaminya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak indri atas kunjungannya..kira-kira begitulah, mbak..semoga bermanfaat..

      Hapus