Sebagai makluk sosial, manusia tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan sebatas dirinya saja. Sangat diperlukan informasi-informasi lain untuk menambah wawasan dan khasanah pemikiran. Semakin banyak seseorang menyerap informasi, baik lewat media cetak, elektonik maupun informasi dan audio visual, semakin luaslah cakrawala pemahamannya. Tentu hal ini akan sangat mendukung saat berkomunikasi dengan orang lain.
Namun beberapa tahun belakangan, ketika kebebasan berfikir dan berpendapat begitu dimanjakan, kita membutuhkan "alat" sebelum memutuskan untuk mereguk nikmatnya sebuah informasi atau berita. Kenapa? Karena saat ini, tidak lagi semua berita bisa kita percaya begitu saja. Banyak sekali tulisan yang kadung dikonsumsi publik, tetapi isinya adalah fakta yang diplintir sedemikian rupa sehingga kehilangan makna yang sesungguhnya.
Pernahkah anda membaca sebuah headline news yang begitu menggelitik, lalu ketika dilihat isinya, sangat jauh panggang daripada api? Semisal, "Politikus XYZ; dari korupsi sampai nikah beda agama". Ketika kita buka link nya, memang berita korupsi yang ditulis adalah tentang politikus bernama XYZ, tetapi soal nikah beda agamanya adalah tokoh kedua yang juga diberitakan dengan judul yang sama. Coba bayangkan jika pembaca hanya membaca headline nya saja, tentulah pelaku yang dikira adalah si XYZ ini .
Pernahkah anda membaca sebuah headline news yang begitu menggelitik, lalu ketika dilihat isinya, sangat jauh panggang daripada api? Semisal, "Politikus XYZ; dari korupsi sampai nikah beda agama". Ketika kita buka link nya, memang berita korupsi yang ditulis adalah tentang politikus bernama XYZ, tetapi soal nikah beda agamanya adalah tokoh kedua yang juga diberitakan dengan judul yang sama. Coba bayangkan jika pembaca hanya membaca headline nya saja, tentulah pelaku yang dikira adalah si XYZ ini .
Selain itu, ada juga berita yang dibuat berulang-ulang, beruntun sehingga dapat menggiring opini masyarakat. Seperti pemberitaan tentang sebuah kasus pemerkosaan. Kita patut bersimpati pada korban atas kejadian yang dilakukan oleh orang-orang tak bermoral ini. Hanya saja, adakalanya sekelompok orang memanfaatkan momentum ini untuk memunculkan opini bahwa tidak ada hubungan antara berpakaian sopan dengan kasus pemerkosaan. Mungkin untuk kasus yang sedang dibahas saat ini tidak ada hubungannya, tetapi tidak bisa juga digeneralisir bahwa menutup aurat itu tak ada fungsinya untuk menjauhkan diri dari kejahatan. Idealnya, sebuah pembahasan harus komprehensif, sehingga ditemukan benang merah dan hubungan sebab akibat yang betul-betul jelas.
Banyak sekali contoh pemberitaan yang membutuhkan nalar dan analisa matang sebelum "ditelan". Nah, alat yang dimaksud diatas adalah "filter/saringan". Kita butuh fikiran jernih dan tajam sebelum menerima sebuah informasi. Jika tidak, maka kita akan menjadi "pembebek" yang mau saja digiring kemana dunia menghendakinya.
Kemampuan membaca berita dibalik berita tidak hadir serta merta, tetapi juga perlu latihan. Kita perlu membiasakan diri membandingkan informasi dari berbagai sumber. Jadi jangan pernah sekali membaca lalu membuat opini. Tetapi bacalah dari berbagai referensi. Diskusikan dan baru simpulkan. Dengan demikian, kita tidak akan mudah terombang ambing dizaman yang memang sedang pada fase "mengombang ambing".
Sekian
0 komentar:
Posting Komentar