Rabu, 30 Maret 2016

Perempuan di Ambang Batas


" Kenapa bukan suami ibu yang mengambil obat?, biasanya dia bisa datang sendiri bukan?" tanyaku pada ibu yang membawa resep ke apotik. Wanita ini menghela nafas. Berat sekali. Kelihatan seperti ada beban berpuluh-puluh kilo menghimpit dadanya. Kubiarkan dia diam sejenak, dari mimik wajah paruh baya dengan garis-garis halus yang mulai membanyak diwajahnya ini bisa kubaca, dia ingin bercerita. Tapi sepertinya disini tidak tepat, karena ada pasien lain yang sedang mengantri. " Sebentar ya, bu..saya ambilkan obatnya dulu. Silahkan ibu duduk diruang tunggu, nanti saya panggil ", jelasku memecah lamunannya. Serta merta wanita ini mengangguk cepat, dan langsung menuju kursi yang berjejer didepan apotik. 

Kubaca resepnya, meskipun sebetulnya sudah hafal. Ada tiga macam obat rutin yang harus diminum oleh suami ibu tadi. Chlorpromazin, Haloperidol dan Triheksilfenidil. Ya, Obat untuk pasien dengan gangguan jiwa. Biasanya bapak As* mengambilnya sendiri, meskipun datang dengan wajah dingin dan tatapan kosong. Siapa saja yang melihatnya pasti tahu kalau orang ini tidak "stabil". Tetapi hari ini sepertinya ada "masalah", sehingga istrinya yang kesini. 

"Bapak As.." panggilku. Bergegas Ibu Wit* yang tadi kusuruh menunggu mendatangi. Setelah dijelaskan tentang aturan pakai obat untuk suaminya, tanpa kuminta ibu ini bercerita. " Kemaren dia mengambil begitu saja motor orang dikedai, bu..lalu dibawanya pulang. Saya heran dia bawa motor siapa. Setelah sampai dirumah dia langsung kekamar, dan membiarkan motor itu terparkir didepan rumah. Tidak lama setelah itu orang-orang kerumah kami, menceritakan kejadian di kedai. Saya persilahkan mereka mengambil kembali motor itu, setelah saya benar-benar minta maaf. Untunglah semua mengerti Sebetulnya keluarga suami juga sudah kasihan pada saya, bahkan meminta untuk meninggalkan suami saya saja, dari pada menjadi beban.Tetapi saya tidak mau, bu..bagaimanapun dia adalah ayah dari anak-anak saya. Dulu ketika kami menikah, suami saya baik-baik saja.". Kisah ini di ceritakannya dengan mata berkaca-kaca. Jika tidak ditahannya, bulir bening yang sudah menganak sungai di sudut matanya pasti jatuh mengalir. Wanita tegar, batinku. 

Kupegang punggung tangannya. "Ibu yang sabar, ya..setiap orang punya ujian hidup. Dan Allah pasti sudah mengukurnya. Ibu wanita kuat, Insyaallah akan bisa melewati semua ini. Saya doakan semoga suami ibu cepat sembuh. Yang penting obat ini harus diminum teratur, Jangan terputus. jika habis, ibu bisa berkonsultasi lagi dengan dokter disini", paparku. Susah payah kuungkapkan kalimat ini, mengingat ujian berat yang dipikulnya. Mendampingi lelaki dengan gangguan jiwa tentu berbeda dengan yang mengalami sakit lainnya. Penyakit seperti ini tidak saja menjadi beban lahir, tapi juga batin. Malu, pasti ada terlintas didada. Apalagi ketika yang sakit tersebut tiba-tiba mengamuk, betapa kawatirnya yang mendampingi. Belum lagi beban ekonomi yang ditanggungnya. Ah, ibu. Semoga Allah menguatkanmu, lirihku berdoa. 


***

Ibu Wit datang lagi. Kali ini dia sendiri yang berobat. Tapi anehnya, tanpa babibu, dia menangis sambil menyerahkan resep. "Ibu kenapa?", tanyaku heran. Kulihat tangannya gemetar. Sedikit pucat. "Sepertinya semua orang mulai bosan pada saya, bu..muak melihat saya" katanya tergugu.
"Lho, kok ibu merasa begitu..ga ada yang bosan sama ibu. Mungkin itu perasaan ibu saja"
"Iya, perut saya nyeri..tiap malam demam. Makanya saya kesini", sambungnya. 
Aku tersenyum. "Sudah, ibu jangan berfikiran seperti itu. Ibu minumlah obat ini. Hilangkan semua prasangka ibu. Nanti ibu makin sakit", hiburku. 
"Iya, bu..saya lelah", katanya. Saya sangat mengerti dengan kata "lelah" itu. kelelahan lahir batin. 

***

Seminggu setelah itu. Aku sibuk mengecek Surat Bukti Barang Keluar dari Gudang Farmasi. Kerja Apoteker itu memang lengkap. Tidak hanya melayani, tetapi juga harus memanstikan manajemen obat terkelola dengan baik. Tiba-tiba sayup kumendengar suara wanita menangis dan sedang dihibur oleh temanku. Kali ini bukan sekedar menangis, tapi juga menceracau dan mengumpat. Dari jauh sudah bisa kupastikan, itu ibu Wit. Aku tak sempat mendekatinya karna sedang sibuk sekali. Tapi hati kecilku berbisik, wanita ini sedang "diambang batas", karna beban hidup yang bertubi-tubi. Betapa dia butuh didampingi, jika tak ingin sesuatu yang tidak diinginkan terjadi padanya. Allah, kuatkan istri setia ini, bakti pada suaminya luarbiasa, doaku sambil tetap fokus pada SBBK. 


*Hanya nama samaran





11 komentar:

  1. Semoga ibu itu diberi kekuatan menjalani cobaan Allah. Semoga dosanya berguguran atau amalannya ditambahkan. Amin...

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin..allahumma aamiin..makasih, mbak sabrina..

      Hapus
  2. Aamiin ya Rabbal'alamiin...

    Raso taraso lo dek awak yo ni..

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin..

      Baa ka indak, Rifa..sadiah bana rasonyo mancaliak hidup ibu tu..

      Hapus
  3. Unii... aku terhanyut... itulah kita... apoteker, sbbk dan curhatan pasien.. lengkap!

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, mbak Indri...kita dituntut Bumbata..Buka Mata Buka Telinga.. :)

      Makasih ya, mbak...tulisan mbak indri makin kece..

      Hapus
    2. iya, mbak Indri. Kita dituntut BumBaTa..Buka Mata Buka Telinga..

      Makasih, mbak Indri..

      Hapus