Tentang Perjalanan

"Hidup adalah tentang sebuah perjalanan, dimana seseorang yang diam menetap tidak akan bisa berkembang sedangkan yang berpindah-pindah selalu mendapatkan kejutan dari sang pencipta yang membuat kita berbeda dari orang lain."

Tentang Kehidupan

"Jangan takut oleh kemarahan orang sehingga kita takut berkata dan bersikap jujur."

Tentang Kesungguhan

"Ketika kamu lelah dan kecewa, maka saat itu kamu sedang belajar tentang kesungguhan."

Tentang Kebijaksanaan

"Orang bijak menemukan kebijaksanaannya melalui kerasnya kehidupan."

Tentang Kesabaran

"Sejak kita menginginkan kebahagiaan dan kesuksesan, sejak itu pula kesabaran menjadi kewajiban kita."

Rabu, 05 Oktober 2016

Jangan menebar rasa, Karena Perempuan itu sangat perasa


"Aku hanya menganggapnya sahabat, tidak lebih. Terlalu berlebihan jika dia menganggap ada yang spesial" ujar Ray datar tanpa rasa bersalah sedikitpun. 

Ego perempuanku muncul, dengan sedikit kasar diktat yang sedari tadi damai dalam dekapan, kuhempaskan ke meja kantin fakultas siang itu. Lelaki jangkung berkaca mata minus ini  terperanjat. Sepertinya dia tak menyangka kalau aku yang tidak terbiasa bersuara keras, sesekali bisa menggelegar. 

Kurobah posisi untuk meredakan emosi. Duduk. Diapun serta merta mengikuti. Bayangan tangis Rini sahabatku kembali menyeruak. Sesungukan semalam menumpahkan perasaannya padaku.

"Wi, rasa ini sangat menggangguku. Aku tahu ini belum waktunya. Tetapi coba kamu perhatikan bagaimana dia memperlakukanku. Mengajak diskusi saban hari, whatsappin aku hanya sekedar untuk menanyakan sudah makan atau belum?. Bahkan dia sering deketin keluarga aku. Salahkah jika aku menaruh harapan? Tapi sampai sekarang dia tak pernah mengungkapkan perasaan dan maksudnya padaku. Semua mengambang begitu saja. Padahal dia kan sudah pasca sarjana, dan akupun juga sudah dewasa. Aku suka sama dia, Wi..selalu ada yang kurang jika sekali saja dia tak menghubungi. Aku tersiksa dengan perasaan ini. Untuk menanyakannya langsung tentu ini akan menjatuhkan harga diriku." Kubiarkan Rini mengurai gumpalan rasa yang mengganjal hatinya. "Ga apa-apa, Rin. Jadikan saja aku tong sampah untuk semua masalah-masalahmu. Sebisanya akan kudengar, "batinku. 

"Kamu perlu orang ketiga, Rin" jawabku cepat.

"Buat apa?" wajah gadis berhijab ungu dengan motif abstrak ini yang sedari tadi menunduk tiba-tiba tegak menatap lurus padaku

"Untuk menanyakan bagaimana perasaannya padamu. Setidaknya dengan demikian kamu tidak membuang-buang waktu dalam ketidakpastian." Jawabku

"Tidakkah itu menjatuhkan harga diriku? Kamu ada-ada saja,Wi. Jangan deh" cegahnya.

"Kamu yakin? Sekarang usiamu berapa? Setidaknya dengan adanya kepastian ya atau tidak kamu bisa putuskan apa langkah selanjutnya. Jika kalian punya rasa yang sama. Menikah. Jika tidak lupakan" tegasku. 

"Terserah kamu, deh. Tapi cukup kamu dan dia saja membicarakannya. Jadi aku tidak begitu terbebani atas apapun jawabannya." ujar Rini pasrah.

***

Buat Mr. Ray dan Ray-Ray lain diluaran sana. 

Perempuan itu makhluk sensitif dan perasa. Fitrahnya begitu. Perasaannya selangkah lebih maju didahulukan dari pikirannya. 

Contohnya saja ketika seorang ibu melihat anaknya yang baru belajar berjalan, hampir jatuh di tangga. Dia tidak akan berpikir panjang saat itu sedang melakukan apa, yang penting anaknya segera diselamatkan. Bisa saja pisau yang sedang dipegang untuk mengiris bawang ketika it,u dilempar serampangan. Lalu langsung melompat untuk merangkul anaknya. Demikianlah perempuan. Halus. 

Jadi, lelaki-lelaki bijaksana. Jika sekiranya belum ada keinginan untuk serius dan berniat menikahinya, janganlah tebar pesona kemana-mana. Memberi perhatian lebih, boros dalam berkomunikasi, mengumbar pujian atau apalah itu namanya. Mungkin bagimu itu hal biasa, tapi bagi perempuan hal ini akan menjadi luar biasa. Perempuan itu hiperbola. Sedikit bisa diolah menjadi luar biasa. Apalagi jika banyak. Tentulah dia akan menganyam asa dihatinya. 

Kamu bisa saja ketika ditantang menjawab "Ah, tak ada maksud apa-apa. Ini hanya sebatas perhatian sebagai teman,"

Entengnya..
Tahukah kamu?
Dibalik sikapmu yang begitu..telah terangkai kata dalam bundelan-bundelan catatan harian. Telah basah bantal oleh tangis harapan. Telah terbuang waktu akan kesia-siaan. 

Jangan menebar rasa, karena perempuan itu sangat perasa. 

















Senin, 03 Oktober 2016

Menyulam Luka (9) - Kejutan Dari Langit



“Tugas kita hanyalah berupaya untuk selalu memperbaiki diri dan berharap cinta-NYA, karena  ujian setelah hijrah itu adalah istiqomah. Bersabar dalam ketaatan tidaklah mudah. Akan banyak godaan-godaan baik dari diri sendiri maupun lingkungan luar. Tetapi disanalah tantangannya. Insyaallaah, jika niat kita berhijrah semata-mata karna Allah, ga ada yang bisa menggoyahkannya. Jadi selipkanlah selalu doa  mohon ketetapan iman, disetiap permintaan dan harapan yang kita panjatkan pada Allah.” Dengan lugas ustadzah paruh baya yang mengisi halaqoh mingguan kami menjelaskan.

Kukutip sebaris kalimat beliau barusan, sembari mencatat di buku agenda yang setiap minggu kubawa. Ini poinnya. “ Ujian setelah hijrah itu adalah istiqomah. Semoga Allah menguatkankan imanku, aamiin. Doaku membatin.

“Kalau kita setelah berhijrah berharap dapat suami sholeh gimana, Zah?” celetuk Lusi tanpa malu-malu. Tentu saja pertanyaan tanpa basi-basi ini mamancing senyum semua akhwat yang ikut kajian sore itu.


“ Itu bonus, Lusi. Tentu Allah akan membukakan pintu-pintu kemudahan jika kita semakin dekat dengan-NYA. Setidaknya dengan perubahan kita menjadi pribadi yang lebih baik, tentu orang-orang yang berada di frekuensi yang sama akan mudah dekat dengan kita. Wallahua'lam," sembari tersenyum Ustadzah yang selalu tampil bersahaja ini menjelaskan. Beliau paham sekali dengan perasaan para gadis binaannya ini. Sesekali virus merah jambu tentulah menyerang mereka juga.

Kajian hari ini benar-benar menyentuh hatiku. Ruh dari tausiyahnya sangat kurasakan. Jiwa terasa lapang, tanpa beban. Aku berjanji pada diri sendiri, untuk selalu meluruskan niat dan tak berfikir yang lain atas langkah yang telah kuambil. Semua karna Allah. Hanya karna Allah. Kuhapus semua bayangan dan khayalan yang terkadang hadir menggoda.

Tak terasa 6 bulan berlalu. Aku sibuk dengan pekerjaan yang setiap hari menyapa. Sampel yang harus kuperiksa, laporan yang harus kuselesaikan dan tugas-tugas lapangan yang terkadang menguras tenaga. Tapi sesibuk apapun, kajian mingguan tak pernah kutinggal. Kecuali jika sakit atau sedang dinas  di luar kota. Bagiku halaqoh ibarat bengkel jiwa. Saat hati sedang berkabut, seakan tersapu sekembali dari sana. Ajaibnya adalah, aku tak lagi ke musholla kantor hanya karna tahu siapa imamnya, bahkan wangi parfumnya juga hampir terlupakan. 

***

"Vinny, Dwi..Nia minta maaf, ya..tidak memberi tahu sebelumnya. Tapi bukan karna Nia ingin menutupinya dari kalian, hanya saja ketika itu rasanya terlalu dini untuk membahas." terbata-bata Nia bercerita. 

Malam ini seperti biasa ba'da isya kami kumpul bersama. Bukan di kamar Nia, Dwi ataupun aku. Tapi di ruang tengah tanpa meja dan kursi. Yang terbentang hanya selembar karpet. Rumah kontrakan ini mirip lapangan bola. Perabotan nyaris ga ada. Kami bertiga ga berminat beli ini
dan itu, buat apa? kami kan perantauan. Gadis semua. Nanti kalau masing-masing sudah berkeluarga mungkin ada keinginan untuk melengkapi. Pastinya bukan disini. tapi di rumah kami masing-masing.

"Ada apa sih, Nia? serius amiiiir.." ujar Dwi sambil menggeser duduknya ke arah Nia saking penasaran. 

"Sabar dong, Dwi..kamu ini. Ntar Nia batal nih ngasih tau kita," kutimpuk guling ke punggung, Dwi. 
Nia tertawa sambil memperbaiki letak kacamatanya. 

"Sebulan yang lalu Nia ta'aruf dengan seorang ikhwah. Alhamdulillaah..karna sudah sama-sama yakin, minggu lalu Nia di khitbah. Keluarga sudah menetapkan tanggal akad pernikahan. Insyaallah sebulan lagi..." Nia berhenti bicara demi melihat tatapan nanar kedua sahabatnya. 

"Heiiii..kok bengong?" boneka dholpin biru berbulu lembut mendarat di wajah, Dwi. Nia tertawa melihat ekspresi Dwi yang mirip orang lagi nonton sulap. Takjub.

Sedangkan aku? Dimana? 
Ada apa ini?
Jantungku berdegup kencang..
Mungkinkah lelaki yang mengkhitbah Nia itu dia?
Kalau tidak siapa lagi?
Bukankah mereka sangat cocok?

Berkali-kali kutarik nafas dalam-dalam demi menenangkan perasaan. 


(Bersambung)