Senin, 03 Oktober 2016

Menyulam Luka (9) - Kejutan Dari Langit



“Tugas kita hanyalah berupaya untuk selalu memperbaiki diri dan berharap cinta-NYA, karena  ujian setelah hijrah itu adalah istiqomah. Bersabar dalam ketaatan tidaklah mudah. Akan banyak godaan-godaan baik dari diri sendiri maupun lingkungan luar. Tetapi disanalah tantangannya. Insyaallaah, jika niat kita berhijrah semata-mata karna Allah, ga ada yang bisa menggoyahkannya. Jadi selipkanlah selalu doa  mohon ketetapan iman, disetiap permintaan dan harapan yang kita panjatkan pada Allah.” Dengan lugas ustadzah paruh baya yang mengisi halaqoh mingguan kami menjelaskan.

Kukutip sebaris kalimat beliau barusan, sembari mencatat di buku agenda yang setiap minggu kubawa. Ini poinnya. “ Ujian setelah hijrah itu adalah istiqomah. Semoga Allah menguatkankan imanku, aamiin. Doaku membatin.

“Kalau kita setelah berhijrah berharap dapat suami sholeh gimana, Zah?” celetuk Lusi tanpa malu-malu. Tentu saja pertanyaan tanpa basi-basi ini mamancing senyum semua akhwat yang ikut kajian sore itu.


“ Itu bonus, Lusi. Tentu Allah akan membukakan pintu-pintu kemudahan jika kita semakin dekat dengan-NYA. Setidaknya dengan perubahan kita menjadi pribadi yang lebih baik, tentu orang-orang yang berada di frekuensi yang sama akan mudah dekat dengan kita. Wallahua'lam," sembari tersenyum Ustadzah yang selalu tampil bersahaja ini menjelaskan. Beliau paham sekali dengan perasaan para gadis binaannya ini. Sesekali virus merah jambu tentulah menyerang mereka juga.

Kajian hari ini benar-benar menyentuh hatiku. Ruh dari tausiyahnya sangat kurasakan. Jiwa terasa lapang, tanpa beban. Aku berjanji pada diri sendiri, untuk selalu meluruskan niat dan tak berfikir yang lain atas langkah yang telah kuambil. Semua karna Allah. Hanya karna Allah. Kuhapus semua bayangan dan khayalan yang terkadang hadir menggoda.

Tak terasa 6 bulan berlalu. Aku sibuk dengan pekerjaan yang setiap hari menyapa. Sampel yang harus kuperiksa, laporan yang harus kuselesaikan dan tugas-tugas lapangan yang terkadang menguras tenaga. Tapi sesibuk apapun, kajian mingguan tak pernah kutinggal. Kecuali jika sakit atau sedang dinas  di luar kota. Bagiku halaqoh ibarat bengkel jiwa. Saat hati sedang berkabut, seakan tersapu sekembali dari sana. Ajaibnya adalah, aku tak lagi ke musholla kantor hanya karna tahu siapa imamnya, bahkan wangi parfumnya juga hampir terlupakan. 

***

"Vinny, Dwi..Nia minta maaf, ya..tidak memberi tahu sebelumnya. Tapi bukan karna Nia ingin menutupinya dari kalian, hanya saja ketika itu rasanya terlalu dini untuk membahas." terbata-bata Nia bercerita. 

Malam ini seperti biasa ba'da isya kami kumpul bersama. Bukan di kamar Nia, Dwi ataupun aku. Tapi di ruang tengah tanpa meja dan kursi. Yang terbentang hanya selembar karpet. Rumah kontrakan ini mirip lapangan bola. Perabotan nyaris ga ada. Kami bertiga ga berminat beli ini
dan itu, buat apa? kami kan perantauan. Gadis semua. Nanti kalau masing-masing sudah berkeluarga mungkin ada keinginan untuk melengkapi. Pastinya bukan disini. tapi di rumah kami masing-masing.

"Ada apa sih, Nia? serius amiiiir.." ujar Dwi sambil menggeser duduknya ke arah Nia saking penasaran. 

"Sabar dong, Dwi..kamu ini. Ntar Nia batal nih ngasih tau kita," kutimpuk guling ke punggung, Dwi. 
Nia tertawa sambil memperbaiki letak kacamatanya. 

"Sebulan yang lalu Nia ta'aruf dengan seorang ikhwah. Alhamdulillaah..karna sudah sama-sama yakin, minggu lalu Nia di khitbah. Keluarga sudah menetapkan tanggal akad pernikahan. Insyaallah sebulan lagi..." Nia berhenti bicara demi melihat tatapan nanar kedua sahabatnya. 

"Heiiii..kok bengong?" boneka dholpin biru berbulu lembut mendarat di wajah, Dwi. Nia tertawa melihat ekspresi Dwi yang mirip orang lagi nonton sulap. Takjub.

Sedangkan aku? Dimana? 
Ada apa ini?
Jantungku berdegup kencang..
Mungkinkah lelaki yang mengkhitbah Nia itu dia?
Kalau tidak siapa lagi?
Bukankah mereka sangat cocok?

Berkali-kali kutarik nafas dalam-dalam demi menenangkan perasaan. 


(Bersambung)




6 komentar: