Tentang Perjalanan

"Hidup adalah tentang sebuah perjalanan, dimana seseorang yang diam menetap tidak akan bisa berkembang sedangkan yang berpindah-pindah selalu mendapatkan kejutan dari sang pencipta yang membuat kita berbeda dari orang lain."

Tentang Kehidupan

"Jangan takut oleh kemarahan orang sehingga kita takut berkata dan bersikap jujur."

Tentang Kesungguhan

"Ketika kamu lelah dan kecewa, maka saat itu kamu sedang belajar tentang kesungguhan."

Tentang Kebijaksanaan

"Orang bijak menemukan kebijaksanaannya melalui kerasnya kehidupan."

Tentang Kesabaran

"Sejak kita menginginkan kebahagiaan dan kesuksesan, sejak itu pula kesabaran menjadi kewajiban kita."

Sabtu, 24 September 2016

Menyulam Luka (8) - Hijrah



Dingin sekali, kembali kutarik selimut rapat-rapat. Berharap malam masih panjang sehingga pagi tak buru-buru memaksaku agar segera bangkit dari tempat tidur. Rutinitas terkadang membuatku lelah. Apalagi sekarang pekerjaan kantor sangat banyak. Sampel dari berbagai produk setiap hari menanti untuk disentuh, diperiksa dan dilaporkan. Aku dan tim biasanya memang sangat menikmati pekerjaan ini. Tapi sesekali, jenuh pastilah ada. Karena Vinny juga manusia.
Sesaat mata kupejamkan kembali, tubuh yang meringkuk dibalik selimut tak tahan dengan dingin yang menusuk. Dari kamar sebelah sayup terdengar alunan tilawah dari seseorang yang suaranya tak asing lagi. Setiap ayat demi ayat yang dibacanya seumpama hangatnya mentari yang merasuk lembut ke relung hatiku. Suara lembut dengan makraj huruf yang jelas.

Aku tahu, itu suara Nia. Gadis berkacamata minus yang memang selalu tidur lebih awal dan bangunpun lebih dulu. Setelah qiyamul lail biasanya Nia memang selalu tilawah sembari menunggu waktu subuh. Hidupnya begitu teratur. Tenang dan kelihatan nyaris tanpa riak. Dia sangat menikmati setiap sujud panjangnya. Pernah suatu hari diam-diam kuintip dari celah pintu. Dia sedang berdoa sambil terisak. Entah apa yang diadukannya pada Allah. Tapi terlihat jelas, betapa Nia sangat menikmati curhat pada sang Maha Kuasa. Tanpa sadar, Nia adalah guru bagiku. Guru spiritual, lewat teladannya dikeseharian.

***

“Vinny, kamu apa kabar? Jarang banget nelfon aku. Sibuk ya, Non?” suara nyaring Lina memberondongku dengan pertanyaan. Aku tertawa. Pertanda betapa aku rindu padanya. Ingat bagaimana perjuangan kami selama bekerja di Jakarta.  Aku bahkan takkan pernah lupa dengan dia yang selalu ada untukku dalam suka maupun duka. Ah, Lina. Sahabatku.

“ Aku baik-baik saja, Lin. Kamu disana gimana?” balik kubertanya.

“Alhamdulillaah, baik Vin. Tapi biasalah..berburu target-target kerja yang tak berkesudahan. Apalagi jelang akhir tahun? Kebayang kan?” jawabnya.

“Iya, aku tahu. Bahkan bagaimana tampangmu saat lagi suntuk karena pekerjaanpun aku tahu..hahaha” ga tahan kugoda Lina.

“ Tampang manis pastinya” balasnya tak mau kalah. Lalu kami sama-sama tertawa lepas. Sejenak senyap. Lalu sesi kedua kami lanjutkan. Seperti biasa. Dari dulu hingga sekarang. Apa itu? Sesi curhat.

“Lina, coba deh sekarang kamu liat foto terbaru yang kukirim ke BBM mu barusan..”. Sebuah gambar memang baru kukirim. Dan aku ingin Lina mengomentarinya.

“Vinny...kamu dapat hidayah dari mana?, cantik. Lebih anggun malah. Sejak kapan?. Kamu yakin bisa istiqomah? Jangan main-main lho, jangan sekedar ngikutin trend”. Lagi-lagi Lina memberondongku dengan pertanyaan yang diiringin sorakan histerisnya.

“Aku harus jawab yang mana dulu ini, Lin?” potongku.

“Terserah aja deh, yang penting semua pertanyaanku kamu jawab dengan tuntas, gamblang dan terpercaya” jawabnya meminjam tagline sebuah infotainment.

“Sejak 2 hari yang lalu, Lin. Persis dihari ulang tahunku. Insyaallah. Aku hijrah bukan karena saat ini lagi trend jilbab syar’i. Tapi ini buah dari pencarian dan pergolakan batinku sejak 6 bulan yang lalu. Aku baca, kudiskusikan, kuperhatikan, kupertimbangkan dan akhirnya kuputuskan. Aku sangat yakin, ketika Allah perintahkan dalam Alqur’an untuk menjulurkan jilbab dari punggung hingga ke dada, tujuannya adalah untuk menjaga kehormatan wanita. Aku sekarang sudah 27 tahun, Lin. Siapa yang menjamin usiaku sampai di angka 28, 29 atau 30 tahun.  Bahkan sedetik kedepanpun kita tidak tahu apa yang terjadi. Aku menyesal telah banyak membuang-buang waktu. Agama yang kuyakini sedari dulu takku pelajari dengan sempurna. Aku bersyukur bisa Allah pertemukan dengan Nia. Lewat dia Allah kirimkan hidayah padaku. Aku banyak dipinjamkan buku-buku agama. Setiap ada yang tak kumengerti selalu dijawabnya dengan lugas dan jelas. Aku melihatnya mengikuti kajian tiap minggu. Dia bilang, itu halaqoh, tempat mengcas semangat untuk lebih giat lagi beribadah. Dia tak banyak bicara. Tapi taqwanya membias.” Panjang lebar kujelaskan pada Lina rasa ini. Dia pasti tidak tahu, kalau saat ini ada bulir hangat yang jatuh dipipiku.

“Subhanallaah, Vin. Aku turut bahagia mendengarnya. Semoga Allah juga memberi kesempatan padaku untuk menjemput hidayahnya” parau kudengar suara Lina diseberang sana. Aku sangat mengenalnya. Meskipun sedikit tomboy dan cuek, Lina perasaannya sangat halus. Dia mudah terharu dan tersentuh.

“Aamiin..allahumma aamiin” jawabku cepat.

“Oya, Vin. Apa komentar Bang Fadhil liat perubahan penampilanmu?”, iseng Lina kumat lagi. Aku ingat, kalau beberapa kali aku pernah cerita tentang ikhwan bernama Alfadhil seorang high quality jomblo dikantor padanya.

“Lin, ingat ya..aku hijrah bukan karena dia tapi karna-NYA. Allah semata,” jawabku kesal.

“Heiii..jangan marah, Non..aku kan cuma nanya komentarnya..haha,” goda Lina lagi.

“Tidak ada. Udah dulu yaa...aku mau beres-beres dulu..assalamu’alaikum Lina cantik” potongku.
“Wa’alaikumsalam...” jawab Lina diseberang sana. Klik.  

Aku tersenyum sembari menutup telfon. Sekilas memang terlintas bayangan Bang Fadhil yang menatapku dari kejauhan sesaat setelah aku masuk kantor dengan penampilan baru.
Cepat-cepat ku istighfar. Sembari berdoa pada-NYA, agar senantiasa menjaga niat semula yang hanya karna-NYA. Kembali ku teringat kalimat dari sebuah buku yang kemaren kubaca “Jika kita hijrah karna sebab selain Allah, maka semua akan hilang bersama hilangnya sebab itu”. Dan aku tidak inginkan itu.

(Bersambung)



Senin, 19 September 2016

Cermin


"Dia tak mau berubah, Uni. Keras kepala. Aku juga ingin punya istri yang lembut, mau mendengar kata-kataku. Andaikan saja aku dianugerahi istri sholehah..," kalimatnya menggantung. Kepulan asap rokoknya membuatku terbatuk-batuk. Sambil mengibaskan tangan tegas kukatakan, " Jika masih mau bercerita, matikan rokoknya!". Dia tertegun. Tapi rokok kretek yang masih tersisa separuh buru-buru dijatuhkan ke tanah, diinjak. Lalu pandangan kembali dilemparkannya ke hamparan sawah yang mulai menguning.

Siang itu terlihat burung-burung sesekali merenggut bulir padi yang penuh berisi. Tapi mereka takkan dibiarkan. Tangan kekar itu dengan cepat menarik tali yang membentang diagonal dari pematang ke pematang sawah. Hingga kaleng-kaleng yang bergelantungan berbunyi. Burung-burungpun lari.

Dia adalah sepupuku. Telah menikah 2 tahun yang lalu. Dianugerahi seorang putri cantik yang sekarang berusia 1 tahun. Masa-masa manis seharusnya. Tapi tidak bagi Kemal. Demikian biasanya dia dipanggil. Meskipun nama yang diberikan bapaknya adalah Akmal. Tapi dari dulu semua memanggil Kemal. Ah, sejak kecil dia memang unik. Cara berfikirnya sulit ditebak. Hingga terkadang ayahnya yang juga adalah pamanku sering pusing dengan sikapnya yang bosenan.

"Mal, dengar nasehat Uni mu ini baik-baik. Jika sekiranya ada yang benar, tolong kau dengarkan. Tapi jika Uni salah, bisa juga kau luruskan," ucapku serius. 

Dia menatapku lamat-lamat. Seperti anak kecil yang sedang mendengar wejangan ibunya. Usia kami memang terpaut 10 tahun. Jadi sejak kecil Kemal memang sangat menghormatiku. Meskipun saudara kandungnya ada, dia lebih nyaman berkeluh kesah padaku. Semasa kuliah dulupun begitu. 

"Pasangan kita, apakah itu suami ataupun istri, dia adalah cermin diri kita. Pantulan diri dan sikap kita. Artinya apa? Jika kita baik, menjaga sikap, berupaya terus dari hari ke hari menjadi manusia yang lebih baik, pasti lama kelamaan akan berimbas pada pasangan kita," ulasku. Sampai disini kalimat kutahan, sambil melihat reaksi ayah satu anak ini.

Dia menarik ujung bibir sebelah kiri dengan tetap memainkan tali plastik yang sedari tadi dipegangnya. Burung-burung nakal kembali mengintai. Agaknya bulir-bulir padi kami demikian menggiurkan mereka. Cepat kutarik tali itu kembali. Kletak kletok..., bunyi kaleng yang beradu satu sama lain kembali mengejutkan. Makhluk kecil bersayap itu kembali terbang. 

"Tadi kamu bilang apa? Pengen istri sholehah?. Kalau boleh Uni tahu, sebesar apa upayamu untuk menjadi sholeh, Mal? Sholat diujung waktu, sering membentak, ga betah dirumah, sekali pulang sibuk dengan handphone, satu lagi..asap rokok selalu mengepul bak dapur berkayu api!" lagi-lagi kuserang dia dengan peluru bertubi-tubi. 

Kali ini dia tersentak, sedikit heran kenapa aku bisa tahu semua itu. Tapi dia terlalu hormat padaku untuk sekedar bertanya darimana kudapat informasi. 

"Sekarang begini saja, Kemal. Coba kamu renungkan bagaimana selama ini sikapmu sebagai suami. Istri juga butuh dihargai. Selembut-lembutnya wanita, pasti dia akan jengah jika sering dikasari. Jaga perasaannya, jangan sakiti hatinya. Ketenangan dalam keluarga akan mengundang keberkahan. Jika sudah demikian, mawaddah dan rahmah itu akan hadir dengan sendirinya. Sekarang kamu pulanglah..kasihan Tsabita. Dia pasti rindu dengan ayahnya," kusodorkan ransel butut disudut pondok yang tadi dibawanya. 

Dia tak menjawab, tetapi sembari menyandang ransel ke pundaknya, dia berdiri dan berucap, "terimakasih ya, Ni..,". 

"Heeii..kamu mau kemana?" teriakku demi melihat langkah cepatnya.

"Aku mau pulang, Uni..Tsabita menungguku..,"jawabnya sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan.

"Alhamdulillaah..jagalah pernikahan mereka, ya Allah" batinku.




#Fiksi

*Uni ; Kakak perempuan (bahasa Minang)

Sabtu, 17 September 2016

Menyulam Luka (7) Sejumput Rasa



" Ga ikut ke kantin, Non?" tanyaku sambil nyelonong masuk ke ruangan Nia. Gadis berjilbab lebar ini terlihat sedang sibuk membereskan kertas-kertas di mejanya. Dia terlihat anggun, ga sedikitpun wolfis biru yang menutupi punggung dan dan dada itu mengurangi luwes geraknya. Kecantikan alami yang memancar dari keimanan.

"Aku sholat dulu, Vin. Biar makan siang lebih nyaman nanti. Kita ke musholla dulu yuk, kamu belum sholat juga kan?,"ajaknya. 

"Baiklah, Nona..," dengan sedikit membungkukkan badan, kusilangkan tangan kanan di dada. Nia tertawa sumbringah. 

***

Wangi parfum itu sudah kukenal. Ah, sejak kapan? Aku juga lupa mulanya dari mana. Tapi aku tahu pasti, lelaki itu sedang berada disini. Saat sholat berjamaah akan dilaksanakan, dia kulihat dipersilahkan ke depan. Imam.

Ternyata benar kalimat yang kubaca dari buku milik Nia kemaren. Jika disadari, ketika kita melaksanakan sholat tepat waktu, saat itulah sesungguhnya kita sedang beristirahat. Membasuh wajah kaki, tangan dengan air wudhu pastinya menyegarkan. Jika dari pagi hingga masuk waktu dzuhur kita disibukkan dengan berbagai pekerjaan, sensasi dinginnya air wudhu akan menghilangkan rasa gerah dan lelah. Ditambah lagi bila kita bisa khusuk dalam rakaat demi rakaat. Seolah bercakap dan merayu Allah. Subhanallaah..nikmat. Fabiayyi alaa 'iraabikumaa tukadzdzibaann.

Nia terlihat khusuk dengan doa panjangnya, meskipun satu per satu jamaah sudah keluar. Entah apa yang dia pinta pada Allah, aku tidak tahu. Atau doanya sama denganku tadi? Mohon diberikan jodoh yang baik dan sholeh? Ah, entahlah. Kulipat mukena biru yang baru saja ku lepas. Dari balik pembatas shaf laki-laki dan perempuan terlihat olehku punggung lelaki itu kembali. Terpekur, sambil khidmat membaca mushaf kecil di tangan kanannya. Sempurna !

"Yuk, ke kantin," ujar Nia mengajakku. Aku gelagapan. 
"Ok, Pren..," jawabku nyengir. Sambil berdoa dalam hati agar Nia tak menangkap tatapanku tadi. Malu!

***

"Ciyeee..yang ditelponin," Dwi menggoda Nia yang baru saja menerima telfon.

"Dwi, kamu apaan sih..orang ditanyain berkas-berkas sertifikasi kok," jawab Nia sambil menimpuk Dwi dengan bantal dholphin biru putih yang sedari tadi dipeluknya.

Biasanya setiap malam kami memang begini. Ngumpul-ngumpul dan bercerita. Entah itu di kamar Dwi, Nia atau kamarku. Ada-ada saja yang dibahas. Mulai dari pekerjaan kantor, katalog baru berbagai fashion atau membahas kisah-kisah masa lalu. Kami akrab sekali. Berteman, tetapi sudah seperti sekeluarga. 

"Iyaaa..sembari nanyain berkas bisa nanya-nanya kabar juga kan, Non. It's Ok..Honey. Kita-kita sudah pada wajib nikah lho, Bang Fadhil keren, santun, sholeh. Cocok deh sama kamu," sambung Dwi lagi.

Nia cuma tersenyum menanggapi. Gurauan-gurauan seperti ini sudah seperti menu harian para gadis dimana saja. Bisa dihentikan hanya ketika sudah menikah. Jadi biarkan sajalah.

Aku yang sedari tadi khusuk membaca lanjutan buku yang kemaren di pojok kamar Nia tiba-tiba kehilangan konsentrasi demi mendengar celotehan Dwi. Wadduh..ada apa ini Vinny? kenapa ada yang bergemuruh? Bukan, bukan dari langit. Tapi disini. Dimana? Didadaku. Kenapa ini? Entahlah..

Mungkin, mungkin karena sejumput rasa. Tiba-tiba wajah teduh lelaki yang mengimamiku tadi berkelebat indah. Bolehkah?



Selasa, 13 September 2016

Menyulam Luka (6) - Angin Cinta Pantai Natsepa


Hamparan pasir putih dan semilir lembut angin pantai Natsepa membuat rinduku pada si Mbok, Abah dan keluarga di Jakarta semakin mengalun syahdu. Sengaja dari Kayadoe ku mampir kesini sebelum balik pulang ke rumah kontrakan, sekedar untuk mengobati gundah hati. Bukan, bukan karena beratnya pekerjaan, tapi saat ini hatiku begitu merindu. 

"Jaga diri baik-baik ya, Nak. Banyak sabar di negeri orang. Kamu akan hidup sendiri disana, tapi doa si Mbok akan selalu ada untukmu." Tubuh kurus itu mendekapku erat, bulir hangat airmata perempuan tegar ini membasahi bahuku. " Vinny sayang, si Mbok," bisikku di telinganya.

Itu adalah nasehat si Mbok ketika mengantarku ke bandara. Perjalanan 3 jam 55 menit dari Sukarno Hatta ke Bandara Pattimura menyuguhkan kilas balik kisah hidup kami. Ada suka, duka dan tawa canda. Aku tak peduli ketika penumpang yang duduk disebelah memandang heran demi melihatku yang berulangkali menghapus airmata. Sambil menatap gumpalan awan dari balik jendela burung besi ini, kubiarkan imajinasi dan memori bercengkrama. Kuserahkan hidup ini sepenuhnya pada DIA, penguasa alam semesta. Allah!

***
  Tidak terasa sudah sebulan saja ku bekerja di kota ini. Sangat menyenangkan, apalagi ketika ditempatkan pada seksi pengujian mikrobiologi. Cocok sekali dengan tugas akhir yang pernah kugeluti beberapa tahun lalu di kampus. 

Ketika pertama masuk kantor, satu persatu staf dan pejabat disini kutemui untuk memperkenalkan diri. Ada 3 orang CPNS baru. Aku, Nia dan Dwi. Kami diposisikan pada seksi yang berbeda, tetapi sebagai sesama perantauan, kami sangat kompak. Apalagi status kami sama-sama gadis. Nia alumni Universitas Indonesia. Gadis bersahaja dan pintar. Nia itu pendiam, bicara seperlunya saja. Tetapi sekali angkat topik, selalu ada makna dalam setiap kalimatnya. Aku senang punya teman baru seperti dia. Diam-diam sering ku amati kebiasaannya. Kombinasi kecerdasan intelektual dan spiritual melekat pada dirinya. Nia juga sangat menikmati posisinya sebagai staf pada seksi Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen (SERLIK) 

Beda dengan Nia. Dwi sedikit tomboi dan cuek. Mungkin orang-orang di seksi pemeriksaan dan pengawasan heran kenapa ada makhluk secuek itu. Pernah kudengar selentingan gosip kurang enak ketika itu, Dwi diberi julukan si Koboi oleh teman-teman satu seksi. Tapi sikapnya yang ceplas ceplos akan membuat sunyi kontrakan kami jika sekali saja dia tak ada. Daripada Nia, aku lebih banyak cerita berbagai hal pada Dwi. Berteman dengannya mengobati rinduku pada Lina. Sahabat karib semasa di Jakarta dulu. Sekarang dia lagi ngapain ya?, sejak kepergianku ke Ambon adakah Mas Tommy pernah menanyakanku pada Lina ?. Ah, tidak..tidak. Lupakan, Vin!!

"Vinny..," ucapku sopan memperkenalkan diri pada salah seorang staf di seksi SERLIK. Sambil mengulurkan tangan hendak menyalami. Tapi sembari menyebutkan nama pria di depanku ini buru-buru menelungkupkan tangannya, " Saya Al Fadhil, biasa teman-teman disini memanggil Fadhil ". 
Aku tertegun. Sedikit canggung kuturunkan tangan. Meskipun orang-orang seperti ini sering kujumpai ketika di kampus dulu, tapi di dunia kerja sudah jarang yang mempertahankannya. Rata-rata mereka melebur bersama warna-warni pergaulan dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Padahal jika dilihat, ga ada juga tuntutan yang mengharuskan mereka berubah dari sesuatu yang sudah dipahami dengan baik konsepnya dan berbalik seolah-olah mereka tak tahu ilmunya. Tapi sudahlah. Tidak semua juga begitu.  Iman kalau tidak dipupuk memang banyak godaannya. 

Oya, aku ingat..Orang seperti Al Fadhil ini biasanya disebut ikhwan. Tapi jujur, sekali pandang saja, aku bisa menilai, dia bukan sekedar ikhwan, tapi juga menawan. Wajah bersih, berkaca mata dan berjenggot tipis.  Aih, Vinny? Masih percaya dengan cinta pada pandangan pertama?. Alam bawah sadar mengajakku kembali pada pada dunia nyata Ambon Manise. 


(bersambung)

Senin, 05 September 2016

Menyulam Luka (5) - Ambon, I'm Coming



Sebulan yang lalu

"Kamu serius,Vin? bukankah karirmu di perusahaan ini sudah cukup bagus?" Lina berhenti menyedot jus alpokat kesukaannya dan menatap tajam pada Vinny. Dia tak mengerti dengan rencana sahabatnya ini. 

"Jangankan serius, Lin..2 ato 3 juga boleh," gurau Vinny sambil tersenyum. Sepasang lesung pipi terlihat jelas di wajah gadis berkulit putih ini. 

"Oke, sekarang beri aku 3 alasan kenapa kamu memilih untuk ikut tes itu, bukankah nanti penempatannya tersebar di seluruh wilayah NKRI? bagaimana kalau kamu bertugas di Indonesia bagian timur, jauh dari si Mbok dan Abah. Sudahkah kamu pertimbangkan baik-baik, Non?"

Pertanyaan Lina yang bertubi-tubi membuat Vinny tertawa. Wajar saja, mereka sudah bersahabat lama. Perkenalan Vinny dan Lina pertama kali ketika registrasi ulang mahasiswi baru di auditorium Universitas Andalas. Lina berasal dari Bukittinggi, sementara Vinny asli Sunda dan tinggal di Jakarta. Seangkatan, sejurusan, se kost, sama-sama wisuda dan sama-sama di terima bekerja di perusahaan Farmasi ternama di Jakarta. Kebersamaan yang cukup lama itu membuat mereka sudah seperti saudara kembar saja. Jalan-jalan bersama, dan saling berbagi keluh kesah. Ketika Vinny memutuskan untuk ikut tes CPNS dan baru cerita saat akan ujian, terang saja membuat Lina kaget.

" Lin, sepertinya untuk masa depan, aku ngrasa kurang cocok dengan ritme pekerjaan disini. Coba kamu bayangkan betapa sibuknya kita, target demi target yang dibebankan perusahaan sungguh membuatku lelah. Mungkin selama ini kelihatannya aku menikmati pekerjaan ini, tapi sesungguhnya tidak. Kebetulan saja kita masih lajang, bagaimana kalau kita sudah berumah tangga dan punya anak? aku merasa ga bakal sanggup bagi waktu, Lin. Meskipun setiap pekerjaan pasti ada tantangan, tapi aku pengen jadi PNS saja, sepertinya cocok deh buat perempuan seperti kita," ulas Vinny panjang lebar sambil memainkan sedotan di gelas yang berisi lemon tea yang tinggal separuh. 

"Eeeeepppss, kalo kamu sudah menikah dengan Mas Tomy ga perlu kerja lagi, bukan?. Suami setajir itu buat apa kerja?" celetuk Lina seenaknya.

Kucubit punggung tangannya, "Lina manis, masih ingat tidak apa yang kubilang semasa kuliah dulu?"
"Tidak, .." jawab Lina cepat.

"Sahabatku, denger ya baik-baik. Pekerjaan menurutku bukan semata-mata untuk mencari uang. Toh, jika sudah menikah yang wajib menafkahi itu kan suami, bukan istri. Tapi bekerja bagiku adalah sebuah eksistensi untuk mengeksplorasi ilmu yang selama ini kugali, pengabdian profesi dan boleh juga sebagai bentuk konstribusiku untuk negri, kamu paham kan, neng?" panjang lebar kujelaskan alasanku pada gadis bermata minus ini.

"Baiklah..tapi bagaimana dengan Mas Tomy? Bukankah dia serius mau nglamar kamu?" Lina masih penasaran.

"Mas Tomy belum pasti jadi milikku bukan?, jika Allah takdirkan dia suamiku, akan ada jalan keluar, tapi jika tidak, dunia masih terbentang kan kawan?" sambil merentangkan kedua tangan kuberdiri, lalu berjalan menuju kasir kantin. Jam istirahat sudah berakhir. Kami harus kembali ke pekerjaan masing-masing. 

***

Nomer Ujian 40313506776. Nama Vinny Kartika Sari. Penempatan BPOM Ambon. 

Mata ku tak berkedip melihat pengumuman ini. Bahagia dan haru yang kurasa bagaikan hujan yang turun setelah panas berkepanjangan. Segala duka airmata, kecewa dan kecamuk yang kurasakan terobati oleh pengumuman ini. Aku lulus. Aku akan terbang, meninggalkan segala kenangan. Membuka lembaran baru, merajut mimpi di negri Ambon Manise. 

Terima kasih ya, Allah..Engkau selalu punya cara spektakuler untuk menghibur hamba-Mu yang bertahan dalam kesabaran.

Tiiiit....Tiiit..

Sebuah pesan whatsapp masuk ke telfon genggamku 

Bagaimana, Vin? Hasilnya sudah keluar? Mas khawatir kalau kamu lulus.
Diujung pesan disertakan emoticon orang dalam keadaan cemas. 

Alhamdulillah, Mas. Aku lulus. Penempatan di Ambon. Terima kasih
Tanpa emoticon kubalas pesan Mas Tomy datar. 

Sambil melangkah ringan, batinku berbisik  "Engkau masa laluku, Mas. Dan inilah masa depanku"



(Bersambung)




Minggu, 04 September 2016

Menyulam Luka (4) - Berakhir di 00.00 WIB



Taksi sampai di depan rumah. Kulihat lampu masih menyala, meski pintu dan jendela telah tertutup semua. Kulirik jam tangan, pukul 20. 30 WIB. Untuk kesekian kalinya handphoneku bergetar, tapi tak kupedulikan. Sejak naik taksi tadi entah berapakali Mas Tomy menghubungi, pesan yang masuk juga sudah sangat banyak. Tapi takku baca. Buat apa?. Kuseka airmata yang masih saja menetes. Aku tak mau perih ini membias pada orang-orang yang paling kusayang. Si Mbok dan Abah, muara kasihku. 

"Vinny?, kamu sendiri, Nak? Tomy mana?," Si Mbok yang awal kulihat sedang serius merajut begitu terperanjat melihat kehadiranku tiba-tiba. Aku lupa baca salam. Abahpun tak kalah kaget, koran yang sedang dibaca diletakkan begitu saja. Lelaki hebatku ini memang rajin sekali membaca. Beliau update, karena itulah wawasan Abah luas, rasanya jika diskusi dengan orang-orang bersekolahpun Abah takkan kalah. Bahasa beliau halus tapi tegas. Pintar namun bersahaja. 

"Tadi Mas Tomy ada keperluan mendadak, Mbok. Jadi Vinny pulang sendiri," terpaksa kuberbohong. Aku tak mau kejadian tadi jadi beban fikiran Si Mbok dan Abah. Aku juga tak mau tidur beliau terganggu karena hinaan terselubung yang dialami anak gadisnya. Si Mbok dan Abah telah banyak berkorban untuk kami anak-anaknya. Jadi kutak mau berbagi luka. Meskipun sesungguhnya ku ingin melepaskan tangis dalam hangat dekapan si Mbok. Tapi kutahan. 

"Vinny ke kamar dulu, Mbok. Lelah sekali, besok Vinny juga kerja", sambungku sebelum Si Mbok meneruskan pertanyaannya. Agaknya beliau mengerti. Mungkin karena kebersamaan kami 9 bulan lebih dulu dibanding yang lain. Selama dalam kandungan kami sudah berbagi oksigen dan makanan, jadi terang saja aku dan si Mbok bisa bicara dengan bahasa kalbu. 

"Istirahatlah, Nak. Semoga kamu baik-baik saja," jawab si Mbok. Dan akupun langsung menuju kamar. Saat ini aku butuh sendiri. 

Baru saja kurebahkan tubuh, sebuah pesan via whatsapp masuk. 

Assalamu'alaikum. Merpatiku, Mas sekarang dalam perjalanan balik ke rumah. Maaf, tadi Mas sengaja mengikutimu untuk memastikan kalau kekasih Mas sampai di rumah dengan selamat. Seperti pesan yang Mas kirim sebelumnya, Mas sekali lagi minta maaf atas kejadian tadi. Sikap kedua orang tua Mas pasti telah membuatmu sangat terluka. Tapi Mas janji akan terus memperjuangkan cinta kita sampai semua harapan kita terwujud. Bersabar ya, cantik. Istirahatlah..selamat malam. 

Langsung ku reply pesan lelaki yang beberapa bulan belakangan mengisi hari-hariku ini. Aku tahu dia laki-laki baik dan sama sekali tak bersalah, tapi aku juga bukan perempuan bodoh yang mau membiarkan diri dihina. Aku Vinny, gadis miskin anak supir angkot. Tapi aku bukan gadis biasa yang suka memupuk, menyiram dan menari bersama lara. Aku juga bukan orang yang tidak mau berjuang. Tapi bukan memperjuangkan sesuatu yang resikonya memunculkan lelah jiwa berkepanjangan, jangan! Bagiku pernikahan adalah wadah ketenangan. Jika sudah dimulai dengan hiruk, aku yakin di perjalanan nanti akan hadirkan pikuk. Karena bibit bernama angkuh kutemukan jelas dimata Nyonya yang melahirkan Mas Tomy. Ku bergidik membayangkan sorot mata sombongnya. 

Wa'alaikumsalam. Terimakasih atas segalanya, Mas. Jangan khawatir. Aku tak apa-apa. Tak ada yang salah Mas. Apalagi kamu. Mengenalmu adalah sebuah keindahan bagiku. Kamu sangat baik.  Orang tua Mas juga tidak salah, beliau juga sedang memainkan perannya. Wajar saja. Jika ada yang salah, itu adalah aku yang tidak mempertimbangkan wejangan si Mbok ketika berangkat tadi dan tetap mau datang ke rumah, Mas. Demi perih yang kualami, demi harga diri yang begitu penting bagiku, demi masa depanku, demi kebahagiaanku, mohon setelah jam 00.00 WIB nanti, jangan lagi kita membahas tentang hal ini. Aku yakin bisa memformulasi rasa cinta, sakit dan kecewa ini menjadi sediaan obat yang akan mengubah diri dan keluargaku menjadi lebih baik lagi. Mas kenalkan siapa Vinny, bukan?. Bukan gadis cemen. Kita cukupkan sampai disini. Selamat malam, Mas. 

Ku geser kursor ke tanda panah yang akan membawa pesan ini dalam sepersekian detik sampai di handphonenya Mas Tommy. Klik. Kumatikan benda kecil ini. Aku ingin istirahat, melupakan sekeping harapan bersama pria tampan itu. Aku yakin dibawah langit yang sama, seseorang juga sedang mempersiapkan diri untuk menjadi suami yang kelak lebih layak untukku. Siapa, Vin?. Entahlah. Dunia terlalu sayang jika harus diratapi. 


(Bersambung)

Menyulam Luka (5) Ambon, I'm Coming!