Tentang Perjalanan

"Hidup adalah tentang sebuah perjalanan, dimana seseorang yang diam menetap tidak akan bisa berkembang sedangkan yang berpindah-pindah selalu mendapatkan kejutan dari sang pencipta yang membuat kita berbeda dari orang lain."

Tentang Kehidupan

"Jangan takut oleh kemarahan orang sehingga kita takut berkata dan bersikap jujur."

Tentang Kesungguhan

"Ketika kamu lelah dan kecewa, maka saat itu kamu sedang belajar tentang kesungguhan."

Tentang Kebijaksanaan

"Orang bijak menemukan kebijaksanaannya melalui kerasnya kehidupan."

Tentang Kesabaran

"Sejak kita menginginkan kebahagiaan dan kesuksesan, sejak itu pula kesabaran menjadi kewajiban kita."

Senin, 12 Desember 2016

Hiburan 'cantik' dari Allah


Hidup dan ujian adalah keniscayaan, karena itulah tanda kita masih ada di dunia. Sebaik atau seburuk apapun kita melakoni, semua tidak akan terlepas dari materi-materi ujian yang telah Allah persiapkan. Ibarat sekolah, tentu ada evaluasi untuk setiap kelas. Mau naik atau tidak, mau lulus atau tertinggal, semua tergantung yang sedang di uji, karena Allah telah bekali hati dan akal, rasanya ini merupakan modal utama dalam memaknai materi uji.

Kehidupan itu melenakan dan sering membuat lupa. Itu tabiat manusia. Apalagi ketika sedang berada dalam kenikmatan dan kebahagian, sering DIA terabaikan. Ya, setidaknya kualitas mengadu pada-NYA tak sebaik ketika kita sedang bergelut dengan duka. Ah, apalah manusia ini, seonggok daging yang kadang tak tahu diri.

Merenung dan bermuhasabah ketika menerima "tamparan"  ujian pertama itu memang tidak mudah dilakukan. Biasanya reaksi pertama adalah bertanya, kenapa? Menanyai hati dan memburu makna "ogah". Ah, lagi-lagi apalah manusia ini, seonggok daging yang sering tak tahu diri.

Jika kita mau berdiskusi dengan hati saat ujian sedang melanda, tanpa kita sadari selalu saja ada "kejadian-kejadian" cantik yang Allah suguhkan untuk menghibur. Yang membuat ujian tidak lagi terasa seberat yang kita fikirkan. Semua pasti pernah mengalaminya, bukan?

Nah, jika pembaca Diary Asysyifa pernah mengalami sendiri atau pernah mendengar kisah tentang ini, silahkan tulis dikolom komentar, barangkali kejadian yang Anda alami bisa menginspirasi atau setidaknya bisa jadi pelajaran bagi orang lain yang sedang merasakan hal yang sama.

Satu kisah menarik yang terpilih, akan saya jadikan cerpen untuk tulisan berikutnya. Pastinya dalam bentuk fiksi dengan kemasan tersamarkan. 

Selamat berbagi inspirasi..:)


* Contoh : Saya pernah sedih sekali karena jomblo kronis dan ga pernah ada laki-laki yang naksir. Tapi ketika merasakan itu, beberapa hari kemudian ada seorang teman yang curhat sambil nangis bombay karena habis diputusin pacarnya, dia kelihatan hancur sekali hingga nilai beberapa mata kuliahnya D akibat ga konsentrasi belajar. Kejadian ini sungguh membuat saya bersyukur pada Allah, ga ada pacar, ga yang naksir No Problem. Mungkin dengan cara ini Allah menjaga saya agar ga pacaran sebelum nikah dan bisa berprestasi tanpa menangisi hal-hal yang tidak berarti.. :)

Any else?

dikirim ya...makasih, temans...:))








Rabu, 05 Oktober 2016

Jangan menebar rasa, Karena Perempuan itu sangat perasa


"Aku hanya menganggapnya sahabat, tidak lebih. Terlalu berlebihan jika dia menganggap ada yang spesial" ujar Ray datar tanpa rasa bersalah sedikitpun. 

Ego perempuanku muncul, dengan sedikit kasar diktat yang sedari tadi damai dalam dekapan, kuhempaskan ke meja kantin fakultas siang itu. Lelaki jangkung berkaca mata minus ini  terperanjat. Sepertinya dia tak menyangka kalau aku yang tidak terbiasa bersuara keras, sesekali bisa menggelegar. 

Kurobah posisi untuk meredakan emosi. Duduk. Diapun serta merta mengikuti. Bayangan tangis Rini sahabatku kembali menyeruak. Sesungukan semalam menumpahkan perasaannya padaku.

"Wi, rasa ini sangat menggangguku. Aku tahu ini belum waktunya. Tetapi coba kamu perhatikan bagaimana dia memperlakukanku. Mengajak diskusi saban hari, whatsappin aku hanya sekedar untuk menanyakan sudah makan atau belum?. Bahkan dia sering deketin keluarga aku. Salahkah jika aku menaruh harapan? Tapi sampai sekarang dia tak pernah mengungkapkan perasaan dan maksudnya padaku. Semua mengambang begitu saja. Padahal dia kan sudah pasca sarjana, dan akupun juga sudah dewasa. Aku suka sama dia, Wi..selalu ada yang kurang jika sekali saja dia tak menghubungi. Aku tersiksa dengan perasaan ini. Untuk menanyakannya langsung tentu ini akan menjatuhkan harga diriku." Kubiarkan Rini mengurai gumpalan rasa yang mengganjal hatinya. "Ga apa-apa, Rin. Jadikan saja aku tong sampah untuk semua masalah-masalahmu. Sebisanya akan kudengar, "batinku. 

"Kamu perlu orang ketiga, Rin" jawabku cepat.

"Buat apa?" wajah gadis berhijab ungu dengan motif abstrak ini yang sedari tadi menunduk tiba-tiba tegak menatap lurus padaku

"Untuk menanyakan bagaimana perasaannya padamu. Setidaknya dengan demikian kamu tidak membuang-buang waktu dalam ketidakpastian." Jawabku

"Tidakkah itu menjatuhkan harga diriku? Kamu ada-ada saja,Wi. Jangan deh" cegahnya.

"Kamu yakin? Sekarang usiamu berapa? Setidaknya dengan adanya kepastian ya atau tidak kamu bisa putuskan apa langkah selanjutnya. Jika kalian punya rasa yang sama. Menikah. Jika tidak lupakan" tegasku. 

"Terserah kamu, deh. Tapi cukup kamu dan dia saja membicarakannya. Jadi aku tidak begitu terbebani atas apapun jawabannya." ujar Rini pasrah.

***

Buat Mr. Ray dan Ray-Ray lain diluaran sana. 

Perempuan itu makhluk sensitif dan perasa. Fitrahnya begitu. Perasaannya selangkah lebih maju didahulukan dari pikirannya. 

Contohnya saja ketika seorang ibu melihat anaknya yang baru belajar berjalan, hampir jatuh di tangga. Dia tidak akan berpikir panjang saat itu sedang melakukan apa, yang penting anaknya segera diselamatkan. Bisa saja pisau yang sedang dipegang untuk mengiris bawang ketika it,u dilempar serampangan. Lalu langsung melompat untuk merangkul anaknya. Demikianlah perempuan. Halus. 

Jadi, lelaki-lelaki bijaksana. Jika sekiranya belum ada keinginan untuk serius dan berniat menikahinya, janganlah tebar pesona kemana-mana. Memberi perhatian lebih, boros dalam berkomunikasi, mengumbar pujian atau apalah itu namanya. Mungkin bagimu itu hal biasa, tapi bagi perempuan hal ini akan menjadi luar biasa. Perempuan itu hiperbola. Sedikit bisa diolah menjadi luar biasa. Apalagi jika banyak. Tentulah dia akan menganyam asa dihatinya. 

Kamu bisa saja ketika ditantang menjawab "Ah, tak ada maksud apa-apa. Ini hanya sebatas perhatian sebagai teman,"

Entengnya..
Tahukah kamu?
Dibalik sikapmu yang begitu..telah terangkai kata dalam bundelan-bundelan catatan harian. Telah basah bantal oleh tangis harapan. Telah terbuang waktu akan kesia-siaan. 

Jangan menebar rasa, karena perempuan itu sangat perasa. 

















Senin, 03 Oktober 2016

Menyulam Luka (9) - Kejutan Dari Langit



“Tugas kita hanyalah berupaya untuk selalu memperbaiki diri dan berharap cinta-NYA, karena  ujian setelah hijrah itu adalah istiqomah. Bersabar dalam ketaatan tidaklah mudah. Akan banyak godaan-godaan baik dari diri sendiri maupun lingkungan luar. Tetapi disanalah tantangannya. Insyaallaah, jika niat kita berhijrah semata-mata karna Allah, ga ada yang bisa menggoyahkannya. Jadi selipkanlah selalu doa  mohon ketetapan iman, disetiap permintaan dan harapan yang kita panjatkan pada Allah.” Dengan lugas ustadzah paruh baya yang mengisi halaqoh mingguan kami menjelaskan.

Kukutip sebaris kalimat beliau barusan, sembari mencatat di buku agenda yang setiap minggu kubawa. Ini poinnya. “ Ujian setelah hijrah itu adalah istiqomah. Semoga Allah menguatkankan imanku, aamiin. Doaku membatin.

“Kalau kita setelah berhijrah berharap dapat suami sholeh gimana, Zah?” celetuk Lusi tanpa malu-malu. Tentu saja pertanyaan tanpa basi-basi ini mamancing senyum semua akhwat yang ikut kajian sore itu.


“ Itu bonus, Lusi. Tentu Allah akan membukakan pintu-pintu kemudahan jika kita semakin dekat dengan-NYA. Setidaknya dengan perubahan kita menjadi pribadi yang lebih baik, tentu orang-orang yang berada di frekuensi yang sama akan mudah dekat dengan kita. Wallahua'lam," sembari tersenyum Ustadzah yang selalu tampil bersahaja ini menjelaskan. Beliau paham sekali dengan perasaan para gadis binaannya ini. Sesekali virus merah jambu tentulah menyerang mereka juga.

Kajian hari ini benar-benar menyentuh hatiku. Ruh dari tausiyahnya sangat kurasakan. Jiwa terasa lapang, tanpa beban. Aku berjanji pada diri sendiri, untuk selalu meluruskan niat dan tak berfikir yang lain atas langkah yang telah kuambil. Semua karna Allah. Hanya karna Allah. Kuhapus semua bayangan dan khayalan yang terkadang hadir menggoda.

Tak terasa 6 bulan berlalu. Aku sibuk dengan pekerjaan yang setiap hari menyapa. Sampel yang harus kuperiksa, laporan yang harus kuselesaikan dan tugas-tugas lapangan yang terkadang menguras tenaga. Tapi sesibuk apapun, kajian mingguan tak pernah kutinggal. Kecuali jika sakit atau sedang dinas  di luar kota. Bagiku halaqoh ibarat bengkel jiwa. Saat hati sedang berkabut, seakan tersapu sekembali dari sana. Ajaibnya adalah, aku tak lagi ke musholla kantor hanya karna tahu siapa imamnya, bahkan wangi parfumnya juga hampir terlupakan. 

***

"Vinny, Dwi..Nia minta maaf, ya..tidak memberi tahu sebelumnya. Tapi bukan karna Nia ingin menutupinya dari kalian, hanya saja ketika itu rasanya terlalu dini untuk membahas." terbata-bata Nia bercerita. 

Malam ini seperti biasa ba'da isya kami kumpul bersama. Bukan di kamar Nia, Dwi ataupun aku. Tapi di ruang tengah tanpa meja dan kursi. Yang terbentang hanya selembar karpet. Rumah kontrakan ini mirip lapangan bola. Perabotan nyaris ga ada. Kami bertiga ga berminat beli ini
dan itu, buat apa? kami kan perantauan. Gadis semua. Nanti kalau masing-masing sudah berkeluarga mungkin ada keinginan untuk melengkapi. Pastinya bukan disini. tapi di rumah kami masing-masing.

"Ada apa sih, Nia? serius amiiiir.." ujar Dwi sambil menggeser duduknya ke arah Nia saking penasaran. 

"Sabar dong, Dwi..kamu ini. Ntar Nia batal nih ngasih tau kita," kutimpuk guling ke punggung, Dwi. 
Nia tertawa sambil memperbaiki letak kacamatanya. 

"Sebulan yang lalu Nia ta'aruf dengan seorang ikhwah. Alhamdulillaah..karna sudah sama-sama yakin, minggu lalu Nia di khitbah. Keluarga sudah menetapkan tanggal akad pernikahan. Insyaallah sebulan lagi..." Nia berhenti bicara demi melihat tatapan nanar kedua sahabatnya. 

"Heiiii..kok bengong?" boneka dholpin biru berbulu lembut mendarat di wajah, Dwi. Nia tertawa melihat ekspresi Dwi yang mirip orang lagi nonton sulap. Takjub.

Sedangkan aku? Dimana? 
Ada apa ini?
Jantungku berdegup kencang..
Mungkinkah lelaki yang mengkhitbah Nia itu dia?
Kalau tidak siapa lagi?
Bukankah mereka sangat cocok?

Berkali-kali kutarik nafas dalam-dalam demi menenangkan perasaan. 


(Bersambung)




Sabtu, 24 September 2016

Menyulam Luka (8) - Hijrah



Dingin sekali, kembali kutarik selimut rapat-rapat. Berharap malam masih panjang sehingga pagi tak buru-buru memaksaku agar segera bangkit dari tempat tidur. Rutinitas terkadang membuatku lelah. Apalagi sekarang pekerjaan kantor sangat banyak. Sampel dari berbagai produk setiap hari menanti untuk disentuh, diperiksa dan dilaporkan. Aku dan tim biasanya memang sangat menikmati pekerjaan ini. Tapi sesekali, jenuh pastilah ada. Karena Vinny juga manusia.
Sesaat mata kupejamkan kembali, tubuh yang meringkuk dibalik selimut tak tahan dengan dingin yang menusuk. Dari kamar sebelah sayup terdengar alunan tilawah dari seseorang yang suaranya tak asing lagi. Setiap ayat demi ayat yang dibacanya seumpama hangatnya mentari yang merasuk lembut ke relung hatiku. Suara lembut dengan makraj huruf yang jelas.

Aku tahu, itu suara Nia. Gadis berkacamata minus yang memang selalu tidur lebih awal dan bangunpun lebih dulu. Setelah qiyamul lail biasanya Nia memang selalu tilawah sembari menunggu waktu subuh. Hidupnya begitu teratur. Tenang dan kelihatan nyaris tanpa riak. Dia sangat menikmati setiap sujud panjangnya. Pernah suatu hari diam-diam kuintip dari celah pintu. Dia sedang berdoa sambil terisak. Entah apa yang diadukannya pada Allah. Tapi terlihat jelas, betapa Nia sangat menikmati curhat pada sang Maha Kuasa. Tanpa sadar, Nia adalah guru bagiku. Guru spiritual, lewat teladannya dikeseharian.

***

“Vinny, kamu apa kabar? Jarang banget nelfon aku. Sibuk ya, Non?” suara nyaring Lina memberondongku dengan pertanyaan. Aku tertawa. Pertanda betapa aku rindu padanya. Ingat bagaimana perjuangan kami selama bekerja di Jakarta.  Aku bahkan takkan pernah lupa dengan dia yang selalu ada untukku dalam suka maupun duka. Ah, Lina. Sahabatku.

“ Aku baik-baik saja, Lin. Kamu disana gimana?” balik kubertanya.

“Alhamdulillaah, baik Vin. Tapi biasalah..berburu target-target kerja yang tak berkesudahan. Apalagi jelang akhir tahun? Kebayang kan?” jawabnya.

“Iya, aku tahu. Bahkan bagaimana tampangmu saat lagi suntuk karena pekerjaanpun aku tahu..hahaha” ga tahan kugoda Lina.

“ Tampang manis pastinya” balasnya tak mau kalah. Lalu kami sama-sama tertawa lepas. Sejenak senyap. Lalu sesi kedua kami lanjutkan. Seperti biasa. Dari dulu hingga sekarang. Apa itu? Sesi curhat.

“Lina, coba deh sekarang kamu liat foto terbaru yang kukirim ke BBM mu barusan..”. Sebuah gambar memang baru kukirim. Dan aku ingin Lina mengomentarinya.

“Vinny...kamu dapat hidayah dari mana?, cantik. Lebih anggun malah. Sejak kapan?. Kamu yakin bisa istiqomah? Jangan main-main lho, jangan sekedar ngikutin trend”. Lagi-lagi Lina memberondongku dengan pertanyaan yang diiringin sorakan histerisnya.

“Aku harus jawab yang mana dulu ini, Lin?” potongku.

“Terserah aja deh, yang penting semua pertanyaanku kamu jawab dengan tuntas, gamblang dan terpercaya” jawabnya meminjam tagline sebuah infotainment.

“Sejak 2 hari yang lalu, Lin. Persis dihari ulang tahunku. Insyaallah. Aku hijrah bukan karena saat ini lagi trend jilbab syar’i. Tapi ini buah dari pencarian dan pergolakan batinku sejak 6 bulan yang lalu. Aku baca, kudiskusikan, kuperhatikan, kupertimbangkan dan akhirnya kuputuskan. Aku sangat yakin, ketika Allah perintahkan dalam Alqur’an untuk menjulurkan jilbab dari punggung hingga ke dada, tujuannya adalah untuk menjaga kehormatan wanita. Aku sekarang sudah 27 tahun, Lin. Siapa yang menjamin usiaku sampai di angka 28, 29 atau 30 tahun.  Bahkan sedetik kedepanpun kita tidak tahu apa yang terjadi. Aku menyesal telah banyak membuang-buang waktu. Agama yang kuyakini sedari dulu takku pelajari dengan sempurna. Aku bersyukur bisa Allah pertemukan dengan Nia. Lewat dia Allah kirimkan hidayah padaku. Aku banyak dipinjamkan buku-buku agama. Setiap ada yang tak kumengerti selalu dijawabnya dengan lugas dan jelas. Aku melihatnya mengikuti kajian tiap minggu. Dia bilang, itu halaqoh, tempat mengcas semangat untuk lebih giat lagi beribadah. Dia tak banyak bicara. Tapi taqwanya membias.” Panjang lebar kujelaskan pada Lina rasa ini. Dia pasti tidak tahu, kalau saat ini ada bulir hangat yang jatuh dipipiku.

“Subhanallaah, Vin. Aku turut bahagia mendengarnya. Semoga Allah juga memberi kesempatan padaku untuk menjemput hidayahnya” parau kudengar suara Lina diseberang sana. Aku sangat mengenalnya. Meskipun sedikit tomboy dan cuek, Lina perasaannya sangat halus. Dia mudah terharu dan tersentuh.

“Aamiin..allahumma aamiin” jawabku cepat.

“Oya, Vin. Apa komentar Bang Fadhil liat perubahan penampilanmu?”, iseng Lina kumat lagi. Aku ingat, kalau beberapa kali aku pernah cerita tentang ikhwan bernama Alfadhil seorang high quality jomblo dikantor padanya.

“Lin, ingat ya..aku hijrah bukan karena dia tapi karna-NYA. Allah semata,” jawabku kesal.

“Heiii..jangan marah, Non..aku kan cuma nanya komentarnya..haha,” goda Lina lagi.

“Tidak ada. Udah dulu yaa...aku mau beres-beres dulu..assalamu’alaikum Lina cantik” potongku.
“Wa’alaikumsalam...” jawab Lina diseberang sana. Klik.  

Aku tersenyum sembari menutup telfon. Sekilas memang terlintas bayangan Bang Fadhil yang menatapku dari kejauhan sesaat setelah aku masuk kantor dengan penampilan baru.
Cepat-cepat ku istighfar. Sembari berdoa pada-NYA, agar senantiasa menjaga niat semula yang hanya karna-NYA. Kembali ku teringat kalimat dari sebuah buku yang kemaren kubaca “Jika kita hijrah karna sebab selain Allah, maka semua akan hilang bersama hilangnya sebab itu”. Dan aku tidak inginkan itu.

(Bersambung)



Senin, 19 September 2016

Cermin


"Dia tak mau berubah, Uni. Keras kepala. Aku juga ingin punya istri yang lembut, mau mendengar kata-kataku. Andaikan saja aku dianugerahi istri sholehah..," kalimatnya menggantung. Kepulan asap rokoknya membuatku terbatuk-batuk. Sambil mengibaskan tangan tegas kukatakan, " Jika masih mau bercerita, matikan rokoknya!". Dia tertegun. Tapi rokok kretek yang masih tersisa separuh buru-buru dijatuhkan ke tanah, diinjak. Lalu pandangan kembali dilemparkannya ke hamparan sawah yang mulai menguning.

Siang itu terlihat burung-burung sesekali merenggut bulir padi yang penuh berisi. Tapi mereka takkan dibiarkan. Tangan kekar itu dengan cepat menarik tali yang membentang diagonal dari pematang ke pematang sawah. Hingga kaleng-kaleng yang bergelantungan berbunyi. Burung-burungpun lari.

Dia adalah sepupuku. Telah menikah 2 tahun yang lalu. Dianugerahi seorang putri cantik yang sekarang berusia 1 tahun. Masa-masa manis seharusnya. Tapi tidak bagi Kemal. Demikian biasanya dia dipanggil. Meskipun nama yang diberikan bapaknya adalah Akmal. Tapi dari dulu semua memanggil Kemal. Ah, sejak kecil dia memang unik. Cara berfikirnya sulit ditebak. Hingga terkadang ayahnya yang juga adalah pamanku sering pusing dengan sikapnya yang bosenan.

"Mal, dengar nasehat Uni mu ini baik-baik. Jika sekiranya ada yang benar, tolong kau dengarkan. Tapi jika Uni salah, bisa juga kau luruskan," ucapku serius. 

Dia menatapku lamat-lamat. Seperti anak kecil yang sedang mendengar wejangan ibunya. Usia kami memang terpaut 10 tahun. Jadi sejak kecil Kemal memang sangat menghormatiku. Meskipun saudara kandungnya ada, dia lebih nyaman berkeluh kesah padaku. Semasa kuliah dulupun begitu. 

"Pasangan kita, apakah itu suami ataupun istri, dia adalah cermin diri kita. Pantulan diri dan sikap kita. Artinya apa? Jika kita baik, menjaga sikap, berupaya terus dari hari ke hari menjadi manusia yang lebih baik, pasti lama kelamaan akan berimbas pada pasangan kita," ulasku. Sampai disini kalimat kutahan, sambil melihat reaksi ayah satu anak ini.

Dia menarik ujung bibir sebelah kiri dengan tetap memainkan tali plastik yang sedari tadi dipegangnya. Burung-burung nakal kembali mengintai. Agaknya bulir-bulir padi kami demikian menggiurkan mereka. Cepat kutarik tali itu kembali. Kletak kletok..., bunyi kaleng yang beradu satu sama lain kembali mengejutkan. Makhluk kecil bersayap itu kembali terbang. 

"Tadi kamu bilang apa? Pengen istri sholehah?. Kalau boleh Uni tahu, sebesar apa upayamu untuk menjadi sholeh, Mal? Sholat diujung waktu, sering membentak, ga betah dirumah, sekali pulang sibuk dengan handphone, satu lagi..asap rokok selalu mengepul bak dapur berkayu api!" lagi-lagi kuserang dia dengan peluru bertubi-tubi. 

Kali ini dia tersentak, sedikit heran kenapa aku bisa tahu semua itu. Tapi dia terlalu hormat padaku untuk sekedar bertanya darimana kudapat informasi. 

"Sekarang begini saja, Kemal. Coba kamu renungkan bagaimana selama ini sikapmu sebagai suami. Istri juga butuh dihargai. Selembut-lembutnya wanita, pasti dia akan jengah jika sering dikasari. Jaga perasaannya, jangan sakiti hatinya. Ketenangan dalam keluarga akan mengundang keberkahan. Jika sudah demikian, mawaddah dan rahmah itu akan hadir dengan sendirinya. Sekarang kamu pulanglah..kasihan Tsabita. Dia pasti rindu dengan ayahnya," kusodorkan ransel butut disudut pondok yang tadi dibawanya. 

Dia tak menjawab, tetapi sembari menyandang ransel ke pundaknya, dia berdiri dan berucap, "terimakasih ya, Ni..,". 

"Heeii..kamu mau kemana?" teriakku demi melihat langkah cepatnya.

"Aku mau pulang, Uni..Tsabita menungguku..,"jawabnya sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan.

"Alhamdulillaah..jagalah pernikahan mereka, ya Allah" batinku.




#Fiksi

*Uni ; Kakak perempuan (bahasa Minang)

Sabtu, 17 September 2016

Menyulam Luka (7) Sejumput Rasa



" Ga ikut ke kantin, Non?" tanyaku sambil nyelonong masuk ke ruangan Nia. Gadis berjilbab lebar ini terlihat sedang sibuk membereskan kertas-kertas di mejanya. Dia terlihat anggun, ga sedikitpun wolfis biru yang menutupi punggung dan dan dada itu mengurangi luwes geraknya. Kecantikan alami yang memancar dari keimanan.

"Aku sholat dulu, Vin. Biar makan siang lebih nyaman nanti. Kita ke musholla dulu yuk, kamu belum sholat juga kan?,"ajaknya. 

"Baiklah, Nona..," dengan sedikit membungkukkan badan, kusilangkan tangan kanan di dada. Nia tertawa sumbringah. 

***

Wangi parfum itu sudah kukenal. Ah, sejak kapan? Aku juga lupa mulanya dari mana. Tapi aku tahu pasti, lelaki itu sedang berada disini. Saat sholat berjamaah akan dilaksanakan, dia kulihat dipersilahkan ke depan. Imam.

Ternyata benar kalimat yang kubaca dari buku milik Nia kemaren. Jika disadari, ketika kita melaksanakan sholat tepat waktu, saat itulah sesungguhnya kita sedang beristirahat. Membasuh wajah kaki, tangan dengan air wudhu pastinya menyegarkan. Jika dari pagi hingga masuk waktu dzuhur kita disibukkan dengan berbagai pekerjaan, sensasi dinginnya air wudhu akan menghilangkan rasa gerah dan lelah. Ditambah lagi bila kita bisa khusuk dalam rakaat demi rakaat. Seolah bercakap dan merayu Allah. Subhanallaah..nikmat. Fabiayyi alaa 'iraabikumaa tukadzdzibaann.

Nia terlihat khusuk dengan doa panjangnya, meskipun satu per satu jamaah sudah keluar. Entah apa yang dia pinta pada Allah, aku tidak tahu. Atau doanya sama denganku tadi? Mohon diberikan jodoh yang baik dan sholeh? Ah, entahlah. Kulipat mukena biru yang baru saja ku lepas. Dari balik pembatas shaf laki-laki dan perempuan terlihat olehku punggung lelaki itu kembali. Terpekur, sambil khidmat membaca mushaf kecil di tangan kanannya. Sempurna !

"Yuk, ke kantin," ujar Nia mengajakku. Aku gelagapan. 
"Ok, Pren..," jawabku nyengir. Sambil berdoa dalam hati agar Nia tak menangkap tatapanku tadi. Malu!

***

"Ciyeee..yang ditelponin," Dwi menggoda Nia yang baru saja menerima telfon.

"Dwi, kamu apaan sih..orang ditanyain berkas-berkas sertifikasi kok," jawab Nia sambil menimpuk Dwi dengan bantal dholphin biru putih yang sedari tadi dipeluknya.

Biasanya setiap malam kami memang begini. Ngumpul-ngumpul dan bercerita. Entah itu di kamar Dwi, Nia atau kamarku. Ada-ada saja yang dibahas. Mulai dari pekerjaan kantor, katalog baru berbagai fashion atau membahas kisah-kisah masa lalu. Kami akrab sekali. Berteman, tetapi sudah seperti sekeluarga. 

"Iyaaa..sembari nanyain berkas bisa nanya-nanya kabar juga kan, Non. It's Ok..Honey. Kita-kita sudah pada wajib nikah lho, Bang Fadhil keren, santun, sholeh. Cocok deh sama kamu," sambung Dwi lagi.

Nia cuma tersenyum menanggapi. Gurauan-gurauan seperti ini sudah seperti menu harian para gadis dimana saja. Bisa dihentikan hanya ketika sudah menikah. Jadi biarkan sajalah.

Aku yang sedari tadi khusuk membaca lanjutan buku yang kemaren di pojok kamar Nia tiba-tiba kehilangan konsentrasi demi mendengar celotehan Dwi. Wadduh..ada apa ini Vinny? kenapa ada yang bergemuruh? Bukan, bukan dari langit. Tapi disini. Dimana? Didadaku. Kenapa ini? Entahlah..

Mungkin, mungkin karena sejumput rasa. Tiba-tiba wajah teduh lelaki yang mengimamiku tadi berkelebat indah. Bolehkah?



Selasa, 13 September 2016

Menyulam Luka (6) - Angin Cinta Pantai Natsepa


Hamparan pasir putih dan semilir lembut angin pantai Natsepa membuat rinduku pada si Mbok, Abah dan keluarga di Jakarta semakin mengalun syahdu. Sengaja dari Kayadoe ku mampir kesini sebelum balik pulang ke rumah kontrakan, sekedar untuk mengobati gundah hati. Bukan, bukan karena beratnya pekerjaan, tapi saat ini hatiku begitu merindu. 

"Jaga diri baik-baik ya, Nak. Banyak sabar di negeri orang. Kamu akan hidup sendiri disana, tapi doa si Mbok akan selalu ada untukmu." Tubuh kurus itu mendekapku erat, bulir hangat airmata perempuan tegar ini membasahi bahuku. " Vinny sayang, si Mbok," bisikku di telinganya.

Itu adalah nasehat si Mbok ketika mengantarku ke bandara. Perjalanan 3 jam 55 menit dari Sukarno Hatta ke Bandara Pattimura menyuguhkan kilas balik kisah hidup kami. Ada suka, duka dan tawa canda. Aku tak peduli ketika penumpang yang duduk disebelah memandang heran demi melihatku yang berulangkali menghapus airmata. Sambil menatap gumpalan awan dari balik jendela burung besi ini, kubiarkan imajinasi dan memori bercengkrama. Kuserahkan hidup ini sepenuhnya pada DIA, penguasa alam semesta. Allah!

***
  Tidak terasa sudah sebulan saja ku bekerja di kota ini. Sangat menyenangkan, apalagi ketika ditempatkan pada seksi pengujian mikrobiologi. Cocok sekali dengan tugas akhir yang pernah kugeluti beberapa tahun lalu di kampus. 

Ketika pertama masuk kantor, satu persatu staf dan pejabat disini kutemui untuk memperkenalkan diri. Ada 3 orang CPNS baru. Aku, Nia dan Dwi. Kami diposisikan pada seksi yang berbeda, tetapi sebagai sesama perantauan, kami sangat kompak. Apalagi status kami sama-sama gadis. Nia alumni Universitas Indonesia. Gadis bersahaja dan pintar. Nia itu pendiam, bicara seperlunya saja. Tetapi sekali angkat topik, selalu ada makna dalam setiap kalimatnya. Aku senang punya teman baru seperti dia. Diam-diam sering ku amati kebiasaannya. Kombinasi kecerdasan intelektual dan spiritual melekat pada dirinya. Nia juga sangat menikmati posisinya sebagai staf pada seksi Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen (SERLIK) 

Beda dengan Nia. Dwi sedikit tomboi dan cuek. Mungkin orang-orang di seksi pemeriksaan dan pengawasan heran kenapa ada makhluk secuek itu. Pernah kudengar selentingan gosip kurang enak ketika itu, Dwi diberi julukan si Koboi oleh teman-teman satu seksi. Tapi sikapnya yang ceplas ceplos akan membuat sunyi kontrakan kami jika sekali saja dia tak ada. Daripada Nia, aku lebih banyak cerita berbagai hal pada Dwi. Berteman dengannya mengobati rinduku pada Lina. Sahabat karib semasa di Jakarta dulu. Sekarang dia lagi ngapain ya?, sejak kepergianku ke Ambon adakah Mas Tommy pernah menanyakanku pada Lina ?. Ah, tidak..tidak. Lupakan, Vin!!

"Vinny..," ucapku sopan memperkenalkan diri pada salah seorang staf di seksi SERLIK. Sambil mengulurkan tangan hendak menyalami. Tapi sembari menyebutkan nama pria di depanku ini buru-buru menelungkupkan tangannya, " Saya Al Fadhil, biasa teman-teman disini memanggil Fadhil ". 
Aku tertegun. Sedikit canggung kuturunkan tangan. Meskipun orang-orang seperti ini sering kujumpai ketika di kampus dulu, tapi di dunia kerja sudah jarang yang mempertahankannya. Rata-rata mereka melebur bersama warna-warni pergaulan dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Padahal jika dilihat, ga ada juga tuntutan yang mengharuskan mereka berubah dari sesuatu yang sudah dipahami dengan baik konsepnya dan berbalik seolah-olah mereka tak tahu ilmunya. Tapi sudahlah. Tidak semua juga begitu.  Iman kalau tidak dipupuk memang banyak godaannya. 

Oya, aku ingat..Orang seperti Al Fadhil ini biasanya disebut ikhwan. Tapi jujur, sekali pandang saja, aku bisa menilai, dia bukan sekedar ikhwan, tapi juga menawan. Wajah bersih, berkaca mata dan berjenggot tipis.  Aih, Vinny? Masih percaya dengan cinta pada pandangan pertama?. Alam bawah sadar mengajakku kembali pada pada dunia nyata Ambon Manise. 


(bersambung)

Senin, 05 September 2016

Menyulam Luka (5) - Ambon, I'm Coming



Sebulan yang lalu

"Kamu serius,Vin? bukankah karirmu di perusahaan ini sudah cukup bagus?" Lina berhenti menyedot jus alpokat kesukaannya dan menatap tajam pada Vinny. Dia tak mengerti dengan rencana sahabatnya ini. 

"Jangankan serius, Lin..2 ato 3 juga boleh," gurau Vinny sambil tersenyum. Sepasang lesung pipi terlihat jelas di wajah gadis berkulit putih ini. 

"Oke, sekarang beri aku 3 alasan kenapa kamu memilih untuk ikut tes itu, bukankah nanti penempatannya tersebar di seluruh wilayah NKRI? bagaimana kalau kamu bertugas di Indonesia bagian timur, jauh dari si Mbok dan Abah. Sudahkah kamu pertimbangkan baik-baik, Non?"

Pertanyaan Lina yang bertubi-tubi membuat Vinny tertawa. Wajar saja, mereka sudah bersahabat lama. Perkenalan Vinny dan Lina pertama kali ketika registrasi ulang mahasiswi baru di auditorium Universitas Andalas. Lina berasal dari Bukittinggi, sementara Vinny asli Sunda dan tinggal di Jakarta. Seangkatan, sejurusan, se kost, sama-sama wisuda dan sama-sama di terima bekerja di perusahaan Farmasi ternama di Jakarta. Kebersamaan yang cukup lama itu membuat mereka sudah seperti saudara kembar saja. Jalan-jalan bersama, dan saling berbagi keluh kesah. Ketika Vinny memutuskan untuk ikut tes CPNS dan baru cerita saat akan ujian, terang saja membuat Lina kaget.

" Lin, sepertinya untuk masa depan, aku ngrasa kurang cocok dengan ritme pekerjaan disini. Coba kamu bayangkan betapa sibuknya kita, target demi target yang dibebankan perusahaan sungguh membuatku lelah. Mungkin selama ini kelihatannya aku menikmati pekerjaan ini, tapi sesungguhnya tidak. Kebetulan saja kita masih lajang, bagaimana kalau kita sudah berumah tangga dan punya anak? aku merasa ga bakal sanggup bagi waktu, Lin. Meskipun setiap pekerjaan pasti ada tantangan, tapi aku pengen jadi PNS saja, sepertinya cocok deh buat perempuan seperti kita," ulas Vinny panjang lebar sambil memainkan sedotan di gelas yang berisi lemon tea yang tinggal separuh. 

"Eeeeepppss, kalo kamu sudah menikah dengan Mas Tomy ga perlu kerja lagi, bukan?. Suami setajir itu buat apa kerja?" celetuk Lina seenaknya.

Kucubit punggung tangannya, "Lina manis, masih ingat tidak apa yang kubilang semasa kuliah dulu?"
"Tidak, .." jawab Lina cepat.

"Sahabatku, denger ya baik-baik. Pekerjaan menurutku bukan semata-mata untuk mencari uang. Toh, jika sudah menikah yang wajib menafkahi itu kan suami, bukan istri. Tapi bekerja bagiku adalah sebuah eksistensi untuk mengeksplorasi ilmu yang selama ini kugali, pengabdian profesi dan boleh juga sebagai bentuk konstribusiku untuk negri, kamu paham kan, neng?" panjang lebar kujelaskan alasanku pada gadis bermata minus ini.

"Baiklah..tapi bagaimana dengan Mas Tomy? Bukankah dia serius mau nglamar kamu?" Lina masih penasaran.

"Mas Tomy belum pasti jadi milikku bukan?, jika Allah takdirkan dia suamiku, akan ada jalan keluar, tapi jika tidak, dunia masih terbentang kan kawan?" sambil merentangkan kedua tangan kuberdiri, lalu berjalan menuju kasir kantin. Jam istirahat sudah berakhir. Kami harus kembali ke pekerjaan masing-masing. 

***

Nomer Ujian 40313506776. Nama Vinny Kartika Sari. Penempatan BPOM Ambon. 

Mata ku tak berkedip melihat pengumuman ini. Bahagia dan haru yang kurasa bagaikan hujan yang turun setelah panas berkepanjangan. Segala duka airmata, kecewa dan kecamuk yang kurasakan terobati oleh pengumuman ini. Aku lulus. Aku akan terbang, meninggalkan segala kenangan. Membuka lembaran baru, merajut mimpi di negri Ambon Manise. 

Terima kasih ya, Allah..Engkau selalu punya cara spektakuler untuk menghibur hamba-Mu yang bertahan dalam kesabaran.

Tiiiit....Tiiit..

Sebuah pesan whatsapp masuk ke telfon genggamku 

Bagaimana, Vin? Hasilnya sudah keluar? Mas khawatir kalau kamu lulus.
Diujung pesan disertakan emoticon orang dalam keadaan cemas. 

Alhamdulillah, Mas. Aku lulus. Penempatan di Ambon. Terima kasih
Tanpa emoticon kubalas pesan Mas Tomy datar. 

Sambil melangkah ringan, batinku berbisik  "Engkau masa laluku, Mas. Dan inilah masa depanku"



(Bersambung)




Minggu, 04 September 2016

Menyulam Luka (4) - Berakhir di 00.00 WIB



Taksi sampai di depan rumah. Kulihat lampu masih menyala, meski pintu dan jendela telah tertutup semua. Kulirik jam tangan, pukul 20. 30 WIB. Untuk kesekian kalinya handphoneku bergetar, tapi tak kupedulikan. Sejak naik taksi tadi entah berapakali Mas Tomy menghubungi, pesan yang masuk juga sudah sangat banyak. Tapi takku baca. Buat apa?. Kuseka airmata yang masih saja menetes. Aku tak mau perih ini membias pada orang-orang yang paling kusayang. Si Mbok dan Abah, muara kasihku. 

"Vinny?, kamu sendiri, Nak? Tomy mana?," Si Mbok yang awal kulihat sedang serius merajut begitu terperanjat melihat kehadiranku tiba-tiba. Aku lupa baca salam. Abahpun tak kalah kaget, koran yang sedang dibaca diletakkan begitu saja. Lelaki hebatku ini memang rajin sekali membaca. Beliau update, karena itulah wawasan Abah luas, rasanya jika diskusi dengan orang-orang bersekolahpun Abah takkan kalah. Bahasa beliau halus tapi tegas. Pintar namun bersahaja. 

"Tadi Mas Tomy ada keperluan mendadak, Mbok. Jadi Vinny pulang sendiri," terpaksa kuberbohong. Aku tak mau kejadian tadi jadi beban fikiran Si Mbok dan Abah. Aku juga tak mau tidur beliau terganggu karena hinaan terselubung yang dialami anak gadisnya. Si Mbok dan Abah telah banyak berkorban untuk kami anak-anaknya. Jadi kutak mau berbagi luka. Meskipun sesungguhnya ku ingin melepaskan tangis dalam hangat dekapan si Mbok. Tapi kutahan. 

"Vinny ke kamar dulu, Mbok. Lelah sekali, besok Vinny juga kerja", sambungku sebelum Si Mbok meneruskan pertanyaannya. Agaknya beliau mengerti. Mungkin karena kebersamaan kami 9 bulan lebih dulu dibanding yang lain. Selama dalam kandungan kami sudah berbagi oksigen dan makanan, jadi terang saja aku dan si Mbok bisa bicara dengan bahasa kalbu. 

"Istirahatlah, Nak. Semoga kamu baik-baik saja," jawab si Mbok. Dan akupun langsung menuju kamar. Saat ini aku butuh sendiri. 

Baru saja kurebahkan tubuh, sebuah pesan via whatsapp masuk. 

Assalamu'alaikum. Merpatiku, Mas sekarang dalam perjalanan balik ke rumah. Maaf, tadi Mas sengaja mengikutimu untuk memastikan kalau kekasih Mas sampai di rumah dengan selamat. Seperti pesan yang Mas kirim sebelumnya, Mas sekali lagi minta maaf atas kejadian tadi. Sikap kedua orang tua Mas pasti telah membuatmu sangat terluka. Tapi Mas janji akan terus memperjuangkan cinta kita sampai semua harapan kita terwujud. Bersabar ya, cantik. Istirahatlah..selamat malam. 

Langsung ku reply pesan lelaki yang beberapa bulan belakangan mengisi hari-hariku ini. Aku tahu dia laki-laki baik dan sama sekali tak bersalah, tapi aku juga bukan perempuan bodoh yang mau membiarkan diri dihina. Aku Vinny, gadis miskin anak supir angkot. Tapi aku bukan gadis biasa yang suka memupuk, menyiram dan menari bersama lara. Aku juga bukan orang yang tidak mau berjuang. Tapi bukan memperjuangkan sesuatu yang resikonya memunculkan lelah jiwa berkepanjangan, jangan! Bagiku pernikahan adalah wadah ketenangan. Jika sudah dimulai dengan hiruk, aku yakin di perjalanan nanti akan hadirkan pikuk. Karena bibit bernama angkuh kutemukan jelas dimata Nyonya yang melahirkan Mas Tomy. Ku bergidik membayangkan sorot mata sombongnya. 

Wa'alaikumsalam. Terimakasih atas segalanya, Mas. Jangan khawatir. Aku tak apa-apa. Tak ada yang salah Mas. Apalagi kamu. Mengenalmu adalah sebuah keindahan bagiku. Kamu sangat baik.  Orang tua Mas juga tidak salah, beliau juga sedang memainkan perannya. Wajar saja. Jika ada yang salah, itu adalah aku yang tidak mempertimbangkan wejangan si Mbok ketika berangkat tadi dan tetap mau datang ke rumah, Mas. Demi perih yang kualami, demi harga diri yang begitu penting bagiku, demi masa depanku, demi kebahagiaanku, mohon setelah jam 00.00 WIB nanti, jangan lagi kita membahas tentang hal ini. Aku yakin bisa memformulasi rasa cinta, sakit dan kecewa ini menjadi sediaan obat yang akan mengubah diri dan keluargaku menjadi lebih baik lagi. Mas kenalkan siapa Vinny, bukan?. Bukan gadis cemen. Kita cukupkan sampai disini. Selamat malam, Mas. 

Ku geser kursor ke tanda panah yang akan membawa pesan ini dalam sepersekian detik sampai di handphonenya Mas Tommy. Klik. Kumatikan benda kecil ini. Aku ingin istirahat, melupakan sekeping harapan bersama pria tampan itu. Aku yakin dibawah langit yang sama, seseorang juga sedang mempersiapkan diri untuk menjadi suami yang kelak lebih layak untukku. Siapa, Vin?. Entahlah. Dunia terlalu sayang jika harus diratapi. 


(Bersambung)

Menyulam Luka (5) Ambon, I'm Coming!

Kamis, 11 Agustus 2016

Jangan Lukai Hatinya, Doakan Sajalah..



Wajah lelah itu hanya menunduk, sambil tetap tersenyum. Aku tahu, kalimat yang dilontarkan oleh seseorang barusan begitu membebani perasaannya. 

"Harusnya carilah teman (suami), biar tak lagi sendirian. Mungkin saja dengan demikian penyakit akan sembuh". 

Sebuah kalimat penuh perhatian (barangkali), ketika melihat sahabat yang sudah sangat 'matang' masih hidup sendiri. Katanya 'peduli', tetapi tidakkah ada tempat yang sunyi untuk sekedar menasehati?. 

Kucoba alihkan pembicaraannya, agar tidak diteruskan hingga membuat wajah pucat itu semakin terluka. 

"Minta saja temani sama saudara, Aisyah..takutnya jika di rumah sendiri, lalu tiba-tiba pusingnya kambuh ga da yang tahu", sambil memegang tangannya kupilih kata agar gadis cantik ini tak lagi menunduk. Aku berharap dia paham arti genggaman tanganku lewat bahasa kalbu, " sabar ya, kawan". Ku lihat dia tersenyum, cahaya kembali membinar di bola mata perempuan berjiwa kuat ini.

Engkau cantik kawan, sholehah dan baik budi. Jika saat ini separuh Dien belum tersempurnakan, itu bukan salahmu. Akan ada saat yang tepat dengan skenario spektakuler yang Allah siapkan. Rasaku membatin.

Entah 'semangat' dari mana, yang tadi berceloteh kembali menimpali.
"Beneran, jika sudah ada pasangan, jadi yang nyesek di kepala bisa keluar", sambungnya berapi-api.

Astaghfirullah..

Ingin kumenimpuknya dengan bantal yang ada didekatku, biar ia diam dan tak lagi mengeluarkan kalimat yang sangat tidak sesuai dengan situasi dan kondisi.


***

Skenario hidup manusia itu berbeda-beda. Ada yang lancar jaya bahkan terlihat tanpa halangan. Pendidikan lancar, setelah wisuda langsung kerja, ga berapa lama berselang lalu ketemu jodoh. Sebulan menikah langsung hamil dan ditahun pertama pernikahan sudah punya anak. Ada juga yang tersendat-sendat, tapi tidak di semua bagian pastinya.  Bahkan ada yang tertatih-tatih hingga letih. Tetapi tahu kah kita?, semua yang dijalani tak pernah luput dari pengamatan-NYA.

Dia, Allah yang Maha Kuasa, tak pernah tidur, tak pernah bosan mendengar rintihan-rintihan hamba-NYA. Kasih sayangnya tiada batas. meski terkadang kita selalu bertanya "kenapa?". Padahal Allah yang Maha Tahu, segala yang terbaik untuk kita.

Heeeiii!
Anda siapa?
Menceramahi, melukai, merasa paling tahu?

Sampai dimana pengetahuanmu tentang perih yang menyembilu?
Sampai dimana engkau tahu setiap kegalauan yang menyiksa itu?
Tahukah engkau secara detail permasalahan yang berjibaku?

Jangan tambah lagi luka di hatinya.
Jangan lagi bebani dia dengan pertanyaan-pertanyaan tak perlu,

Cukup doakan, atau bantulah dalam senyap.
Karena tentang iman, Allah penilainya. 



*Bersama Lembayung, Padang 110816


Senin, 01 Agustus 2016

Berapa Lama Sebaiknya Tinggal Di Rumah Orang Tua Setelah Menikah?



Pernikahan, adalah momen yang dinanti-nanti oleh siapapun yang masih lajang atau belum memiliki pasangan. Bagaimana tidak, hidup bersama dalam ikatan pernikahan jauh lebih indah. Beban hidup bisa dipikul bersama, berbagi cerita, suka dan duka. Akan lebih bermakna  lagi jika segala keindahan itu ditujukan semata-mata karena Allah, diniatkan sebagai ibadah, berharap kehidupan yang penuh berkah. Insyaallah..

Menikah, tidak cukup hanya bermodalkan hasrat dan keyakinan semata. Tetapi yang  lebih penting adalah menyatukan visi dan misi rumah tangga yang akan dibangun. Itulah sebabnya, dalam Islam perlu dilakukan proses ta’aruf singkat (bukan berkhalwat), yang salah satu tujuannya adalah mengemukakan visi dan misi tersebut. Diawal perlu disampaikan, Rumah Tangga seperti apa yang akan dibangun, konsepnya bagaimana, langkah kedepannya seperti apa. Jika sudah ditemukan persamaan konsep, silahkan lanjut ke proses khitbah (meminang).

Anda dan orangtua setidaknya terpaut perbedaan usia minimal 17 tahunan. Hidup dizaman yang berbeda dan pastinya akan melahirkan pola pikir yang tak sama. Di dunia, meski kembar identik sekalipun, pasti akan memiliki perbedaan sifat dan sikap. Tak ada yang sama persis. Dalam pernikahan, perbedaan-perbedaan inilah nantinya yang akan melahirkan ‘pergesekan”.

Seminggu dua minggu setelah menikah, adalah masa-masa manis beradaptasi dengan keluarga yang baru saja disatukan. Masih banyak toleransi dan saling memahami.  Jika setelah resepsi pernikahan kita tinggal di rumah orang tua atau mertua, paling lama hanya butuh waktu tiga bulan hingga melahirkan sebuah penilaian. Setelah itu akan muncul ‘ekspresi” dan intervensi. Entah itu tentang basa basi, tatakrama atau hal-hal lain yang bisa saja dikomentari pihak ketiga atau sebaliknya. Itu mutlak ada. Yang berbeda hanyalah cara mengungkapkannya. Ada pihak yang ekspresif, ada juga yang diam tapi sewaktu-watu dapat meledak dan merusak. Apalagi jika di rumah tersebut juga ada saudara ipar dan dan keluarga lainnya. Semakin banyak lah pasang mata yang memandang lalu berkumandang.

Jadi jika anda adalah pasangan muda yang hendak menikah, jika tak ada hal lain yang mengharuskan anda tinggal serumah dengan orang tua ataupun mertua. Segeralah berfikir untuk mencari rumah untuk tinggal berdua. Maksimal 3 bulan setelah pernikahan. Meskipun rumah kontrakan,  itu jauh lebih baik. Karna selain melatih diri untuk lebih mandiri, anda juga  akan lebih mudah mengayuh biduk menuju arah yang disuka.  Kita sendiri yang tentukan. Karena terkadang, justru dengan berjaraklah ikatan kekeluargaan itu terasa kuat. Pastinya, dengan tetap menjaga silaturahim.

Percayalah..begitu akan lebih baik.



Padang, 2 Agustus 2016

Minggu, 31 Juli 2016

Lelah Yang Belum Bermuara (Kisah Dahsyatnya Kasih Sayang Seorang Ibu)



“Antrian nomer berapa, nak?”, sapa perempuan yang baru saja duduk disebelahku. Dari awal masuk pintu ruangan yang begitu sejuk ini, ibu berusia skitar 70 tahunan ini memang telah menarik perhatianku dan mungkin juga orang-orang yang duduk berjejer menanti giliran nomernya dipanggil.

“Nomer 46 B, bu. Klo ibu nomer berapa?”, kubalik bertanya.
“108 A, nak”, jawabnya sembari memperlihatkan kertas kecil hasil print out ketika masuk tadi.

Kami sama-sama sedang antri disebuah bank. Sengaja pulang kantor kulangsung kesini, minta pergantian kartu ATM yang sudah melewati limit waktu. Transaksi perbankan sekarang memang sangat mudah, bahkan  seseorang bisa berkirim uang dari mana saja dan kapan saja dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Praktis, aman dan nyaman.

“Ooo, ibu nanti ke teller ya?. Klo saya ada keperluan sama customer servicenya, bu”, sambungku.
“Iya,nak..ibu mau berkirim uang untuk anak ibu. Dia di Jakarta”, jawabnya tersenyum sambil merapikan jilbab yang sedikit miring hingga anak-anak rambut yang mulai memutih menyembul keluar. Matanya terlihat lelah. Tiba-tiba aku teringat nenek. Kira-kira beliau seusia ibu ini.

Antrian yang cukup lama membuatnya punya kesempatan bercerita. Aku tidak banyak bertanya, hanya saja si ibu menyambung sendiri keterangan demi keterangan. Tiba-tiba ku tersenyum sendiri. Teringat masa-masa yang dilalui. Sejak SMP sampai sekarang  aku sering dijadikan “tong sampah” kisah-kisah. Meskipun tak mengerti apa yang sedang mereka ceritakan, tetapi yang kulakukan hanya lah mendengar. Setelah selesai, mungkin hanya bisa sedikit memberi saran. Itupun jika aku paham. Entah tentang pacar-pacar mereka, kejahatan seksual yang mereka alami atau kisah-kisah rumah tangga dari yang tragis sampai berseri namun penuh duri. Ah..inilah yang namanya hidup. Rangkaian kisah demi kisah yang pasti berakhir. Kadang karena keseringan mendapat cerita inilah yang membuatku sedikit hati-hati dalam segala hal.

“Anak ibu empat orang, 2 pasang. Semuanya merantau. Bapak sudah lama meninggal. Tapi sanak saudara ada disekitar rumah, jadi ibu tak kesepian. 3 orang anak ibu sudah menikah. Semuanya macam-macam perangainya. Mereka sudah berkeluarga tapi sering minta uang pada ibu. Ada-ada saja alasannya. Yang namanya seorang ibu, tentu tak sampai hati kalau anak sudah mengeluh kesusahan. Syukurlah ibu masih mampu berdagang. Sedikit-sedikit uang ibu tabung. Tapi setiap terkumpul, ada saja anak yang membutuhkan”.

Kusimak curhatan ibu ini dengan seksama, sambil menatap bola matanya yang tak lagi jernih. Sekuat atau sebugar apapun beliau, pasti setiap sendi dan organ tubuh telah kurang fungsinya termakan usia. Tapi semangatlah yang membuatnya kelihatan kuat. Seharusnya beliau sekarang telah beristirahat. Setidaknya rehat dari memikirkan kebutuhan anak.  Tapi nyatanya? Lelah belum berakhir.

“ Jadi sekarang ibu mentransfer uang untuk anak ibu yang mana?. Yang suaminya pengangguran, atau anak lelaki ibu yang sakit itu?”, kali ini aku yang penasaran.

“Bukan, kalau mereka bulan lalu sudah ibu kirim sedikit uang. Kali ini ibu  mau memasukkan uang ke rekening anak ibu yang bungsu. Sebetulnya dia sudah bekerja dan tidak meminta. Tapi ibu tahu, berapalah gaji sebagai pelayan toko. Dia anak bujang. Ibu kasihan. Dia tak mau sebetulnya ibu kasih uang, tapi ibu merasa tak adil, kakaknya yang telah berkeluarga saja ibu bantu. Tapi dia tidak pernah. Ibu takut nanti dikemudian hari dia mengumpat pada ibu”, sambungnya.

Allahu akbar", desisku membatin. Sebetulnya hatimu terbuat dari apa, bu?. Susah payah engkau membesarkan mereka sampai akhirnya semua beranjak dewasa, bahkan telah berkeluarga. Dan sekarang, semua keluhan mereka engkau tampung dan fikirkan?. Bukankan sekarang anak gadismu sudah bersuami dan punya tanggung jawab penuh padanya? Dan bukankah anak lelakimu sudah tumbuh kekar dan punya bekal kaki dan tangan untuk mengais rezeki yang tersimpan dibumi atau menggantung dilangit?, lalu kenapa masih bersandar pada tubuh renta yang setiap hari harus menjual sayur dan kelapa?

Mungkin nasib itu berbeda-beda. Tetapi sebagai anak, jika telah dewasa apalagi telah berkeluarga, usahakanlah untuk tidak menceritakan kesusahan pada orang tua. Jika tiada bisa memberi tak apa-apa. Tetapi ceritakanlah hal-hal bahagia saja. Karena sudah menjadi fitrah orang tua memikirkan anak sepanjang hayatnya.

Kugenggam tangan si ibu yang mulai keriput, kukatakan “ sabar ya, bu..Allah tahu betapa dalamnya kasih sayang ibu pada mereka. Jaga kesehatan ibu”.

“Makasih, Nak. Anak ibu ini Bidan ya?”, tanyanya sambil mengamati seragam putih yang kukenakan.

“Tidak, bu..Saya Apoteker. Bagian Obat”, kupilih kata yang mengundang anggukan dan senyumnya tanda mengerti.

***
NOMER ANTRIAN 46B, CS 2. Melalui pengeras suara giliranku dipanggil. Setelah pamit pada ibu tadi, aku melangkah gontai menuju meja CS. Menarik nafas dan melepaskannya perlahan.





Senin, 27 Juni 2016

Menyulam Luka (3) - Perih!



"Ini Vinny, Mi.. Pi",  Mas Tomy memperkenalkanku santun. Dengan sopan kutersenyum pada mereka sambil mengulurkan tangan. Belum sampai disambut, Maminya Mas Tomy cepat-cepat mempersilahkan duduk. Sementara Papinya tak mengalihkan pandangan sedikitpun dari koran yang sedang dibaca. Aku sedikit linglung. Sejenak suasana hening. Yang terdengar hanyalah detak jarum jam yang mengiringi irama degup jantungku. 

Sesungguhnya perasan gugup seperti ini bukanlah karakter seorang Vinny. Aku adalah seorang gadis periang dan penuh percaya diri. Dulu di kampus, aku cukup dikenal. Selain seorang aktivis, Si Mbok juga mewariskan raut cantik di wajahku. Setidaknya begitulah kata teman-teman. Hanya saja, karna beban dan pahitnya hidup yang kerap mendera, Si Mbok ku kelihatan lebih tua dari usianya. Jika dibandingkan dengan wanita lima puluh tahunan dihadapanku ini, tentu dia kelihatan lebih cantik, terawat pastinya.

Tak biasa ku diperhatikan sedetail ini. Tatapan Maminya Mas Tomy seolah-olah sedang mengamati kemasan biskuit di swalayan. Dilihat tanggal kadaluarsanya, komposisinya dan bila perlu izin produksinya. Ya, Allah...sedang berada dimana aku ini, batinku. Jam dinding seakan rusak, seolah waktu tak bergerak.

"Sudah lama mengenal, Tomy?", tanya sang Nyonya
"Vinny, Mi..", sela Mas Tomy. Aku tau Mas Tomy mulai risih dengan sikap kedua orangtuanya.
Tanpa menunggu koreksi, ku jawab saja , " Mas Tomy senior saya, Tante. Kami dulu kuliah di jurusan yang sama. Saya kenal Mas Tomy sejak awal kuliah, tepatnya saat masa orientasi". 
"Saya tahu itu",sambutnya menimpali. 
Kalimatku dipotong bak seorang penebang kayu yang dengan sekali ayun berhasil menebas dahan.

Ku alihkan pandangan pada lelaki yang sedari tadi begitu khusuk membaca koran. Seolah-olah saat ini sedang tidak ada siapa-siapa. Entah karna memang sangat hobi membaca atau sama sekali tidak tertarik dengan kehadiranku, ia tak hendak bergeming. 

Aku adalah wanita perasa, dari gestur dan sambutan kedua orang tua Mas Tomy terlihat jelas kalau mereka telah mengetahui latar belakang kehidupanku. Seorang gadis yang terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Abah yang seorang supir angkot dan si Mbok pedagang makanan di pasar. Beruntung sekali beliau dianugerahi tiga orang anak yang cerdas dan bersemangat, sehingga mampu menakhlukan universitas bonafid di kota ini. Kami kakak beradik juga sangat bangga pada Abah dan Si mbok. Pendidikan mereka tidak tinggi, tetapi mind set nya bagus. Kedua pahlawan ku ini tak pernah mengeluh didepan kami, hingga terkadang kami lupa, apa itu kemiskinan. 

" Jadiiii...oya, siapa namanya tadi?, oya Vinny ya?" lanjut Sang Mami. 
"Sebetulnya saya sudah dapat cerita panjang lebar tentang kamu dari Tomy. Beruntung sekali kamu bisa berteman dengan anak saya. Hanya saja, kamu harus tahu..dunia tak selalu indah seperti yang kamu fikir. Ok, saya sebentar lagi ada janji dengan relasi. Mari, Pap..". Sambil berdiri dia mengajak suaminya segera berangkat. Lelaki berkaca mata tebal itu segera melipat koran, tanpa melihat kepadaku sedikitpun, mereka berdua berlalu. Angkuh!

Allah..apakah aku sedang berada di alam mimpi? Ataukah ini hanya sebuah shooting sinetron yang sering tayang di televisi?. Sepahit-pahitnya hidupku belum pernah kumerasa dilecehkan seperti ini. Jika waktu bisa diputar dua jam saja kebelakang, ingin ku pegang wejangan si mbok yang melepasku dengan penuh keraguan. Takkan kubiarkan hati dan pendengaranku dirusak oleh kalimat yang sedemikian tajam. Tapi apa mungkin? realitanya saat ini aku sedang berada disini. Di iris dan ditumis.

Ku raih tas tanpa menghiraukan permintaan maaf Mas Tomy. Bahkan ketika ia berusaha mengejar, secepat itu juga ku berlari menuju taksi.

Mbok, aku butuh pelukanmu.

"Aku pulang.. 
Tanpa dendam
Ku terima, kekalahanku
Aku pulang..
Tanpa dendam..
Ku salutkan..
Kemenanganmu.."

Lirik lagu Sheila On Seven seakan tepat mewakili perasaanku saat ini.

Perih!


(bersambung)

Minggu, 26 Juni 2016

Menyulam Luka (2) - Perjalanan bergemuruh



Meskipun perjalanan yang kami tempuh cukup lama, tapi aku memilih tak banyak bicara. Sembari tetap fokus membawa kendaraan Mas Tomy selalu memancing percakapan, kujawab sekenanya saja. Fikiranku berkeliaran kemana-mana.  Pandanganku tak lepas mengikuti setiap jengkal jalan yang terlewati. Kalimat si Mbok kembali terngiang jelas, “Nak, Si Mbokmu ini bahagia ada yang berniat baik meminangmu. Tapi pesan Mbok , pilihlah seseorang yang kelak tak membuat jiwamu lelah menyertainya”. Kalimat si Mbok memang singkat. Tapi aku tahu betul bahwa perempuan pertama yang kucintai ini sedang mengajak untuk berfikir jauh. Beliau sangat menyayangiku, makanya sangat kawatir jika putri sulungnya terluka dan kecewa. Mas Tomy bukan orang biasa, lelaki pintar, baik , terpelajar dan berasal dari keluarga kaya.

Tak terasa kami sudah sampai dipintu gerbang rumah orang tua Mas Tomy.  Melihat bangunan 2 lantai dengan pekarangan  luas yang tertata rapi ini, akan membuat siapapun tahu siapa penghuninya. Taman yang dihiasi berbagai macam bunga semakin terlihat indah dengan lampu dan kolam kecil nan artistik. Jika tiang yang menyangga teras rumah kami hanyalah kayu sederhana, berbeda jauh dengan rumah mirip gedung ini. Kuperkirakan  beton yang berdiri megah itu berdiameter kurang lebih 60cm. Kokoh dan kuat, seolah-olah mengingatkanku , “selamat datang gadis cantik, semoga ini bukan kali pertama dan terakhir kamu berkunjung kesini”.  

Perasaan ku ini tidaklah berlebihan, mengingat cerita orang-orang yang kenal dekat dengan keluarga Mas Tomy. Dikabarkan, kedua orang tua Mas Tomy selalu melakukan seleksi ketat terhadap calon menantu mereka. Adalah tentang Shinta. Seorang gadis kenalan sahabatku yang sampai sekarang masih depresi akibat gagal menikah dengan kakak sulung Mas Tomy. Sebetulnya mereka ‘sekufu’. Sama-sama berasal dari keluarga berada, Shinta juga cantik dan terpelajar. Hanya saja belakangan tersiar kabar, kalau orang tua Mas Tomy berubah fikiran setelah mengetahui kalau Shinta memiliki seorang adik yang cacat mental.  Mereka malu dan khawatir jika nanti ada faktor genetik yang akan menurun pada cucu-cucu mereka. Pernikahan yang sudah didepan mata akhirnya dibatalkan. Demikian juga dengan kakak kedua Mas Tomy, memilih untuk menikah diam-diam dan sampai sekarang tidak pulang ke rumah hanya karna tidak mendapat restu. Pasalnya?, si calon menantu tidak punya pekerjaan. Bagi mereka, menantu perempuan berkarir adalah sebuah kebanggaan.

“Vin, kita sudah sampai”, sapa Mas Tomy lembut. Tatapan mata elangnya seolah-olah bicara, “ jangan gugup, Merpati cantik. Ada kekasihmu disini”. Seketika lamunanku buyar. Kami melangkah berbarengan menuju pintu rumah. Dadaku bergemuruh, degupnya lebih cepat dibandingkan ketika akan menghadapi ujian komprehensif setahun yang lalu.
Dengan basmalah, ku kuatkan kaki untuk melangkah.

(bersambung)

Sabtu, 25 Juni 2016

Menyulam Luka (1)- Ketika Cinta Datang


Luka itu sudah kubalut, tak perih lagi, dan jaringan baru telah terbentuk. Kamu tak usah khawatir, tidak terjadi infeksi, hanya saja sobeknya meninggalkan bekas. Meskipun ku telah berupaya menghilangkannya, tetapi tetap saja sulit dilupa.

Hari ini, dari pulau yang berjarak puluhan kilometer dari kampung halaman, di sebuah gedung mewah berlatarkan pemandangan yang menakjubkan, lirihku ucapkan hamdalah sebagai rasa syukur atas nikmat yang Allah berikan. Sembari tersenyum sedikit sinis, kuhembuskan nafas perlahan dan berkata, "terimakasih atas torehan perih itu Nyonya!. It's me". Wajah teduh lelaki yang baru seminggu menemani hidupku tiba-tiba sumbringah, ketika erat kurangkul lengannya. Sungguh, janji Allah pasti. Sosok seperti dialah yang kubutuhkan. Menenangkan, bukan menambah lelah jiwa.

***

Lima tahun yang lalu.

"Aku serius mau menikahimu, Merpati cantik.  Tapi sebelum meminang , ku ingin perkenalkan kamu pada Mami. Mau kan?", pinta sahabat yang dua bulan belakangan menyatakan cintanya padaku. Hati perempuan mana yang tak bahagia, merekah, merona bak kelopak mawar ketika lelaki yang selama ini diam-diam dikagumi mau meminang? Andaikan saat itu tiada orang lain, ingin ku berteriak, " Duniaaaaa...aku bahagiaaaa", lalu menari sambil menyanyi, lari-lari kecil dari pohon ke pohon. Sayang, ini bukanlah film India. 

Hari ini ku berdandan cantik. Gaun terindah yang kupunya memang sangat sederhana. Gaji sebagai karyawati di perusahaan swasta tidaklah seberapa, sementara kedua orang tua dan adik-adik juga harus dibiayai, jadi mana mungkin kubisa berlagak seperti gadis-gadis pada umumnya?. Syukurlah, gaun yang kubeli jelang idul fitri tahun kemaren ini masih kelihatan bagus. Sambil memoleskan lipgloss berwarna netral di seulas bibir, aku siap menanti Mas Tomy, mantan senior yang sejak semester dua semasa kuliah dulu sudah mencuri hati.

Sebuah mobil mewah terparkir didepan teras rumah semi permanen kami, tampak sangat kontras sekali dengan pemandangan  disekitarnya. Aku tahu, dikiri kanan banyak tetangga yang ingin tahu. Siapakah gerangan pria necis yang menjemputku?, tapi biar sajalah, nanti mereka juga akan kuberi tahu. Setelah pamit pada si Mbok dan Abah, kami berangkat, semua tentang Mas Tomy juga sudah kujelaskan. Meskipun banyak keraguan yang ku tangkap dari kedua pasang mata orang yang paling kusayang. Tapi beliau mengizinkan dengan sejuta wejangan.

Malam penuh harapan, tapi dari sinilah perih itu dimulai.


#Fiksi

(bersambung)

Selasa, 21 Juni 2016

Sebentuk Kepedulian Apoteker Padang-Pariaman dan Kota Pariaman terhadap bencana 'galodo' di jorong Surantiah

Peyerahan Bantuan pada Wali Nagari untuk korban galodo 
Sejak kepengurusan PC. IAI Padang-Pariaman-Kota Pariaman dilantik september 2015 lalu, yang di ketuai oleh Drs. Yutiardy Rivai, Apt, Apoteker di kabupaten- kota bertetangga ini telah berhasil melaksanakan berbagai kegiatan. Baik itu kegiatan seminar, diskusi ilmiah guna mengupdate ilmu para anggota, temu tokoh, maupun kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya positif. Bisa dikatakan, 'gairah' dan sinergisitas itu semakin terasa. Semua bersemangat. 

Rumah rusak berat

Hujan bercurah tinggi sejak sore hari kamis 16 juni lalu telah mengakibatkan bencana galodo (banjir lumpur) di jorong Surantiah  kecamatan Lubuk Alung kabupaten Padang Pariaman. Meskipun dikabarkan tidak ada  korban jiwa, tetapi kerugian materi diperkirakan sangat banyak. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah genangan lumpur, sementara rumah masyarakat sudah rata dengan tanah, meskipun ada tetapi dalam kondisi rusak berat.

Lokasi Rumah Penduduk yang sudah rata dengan tanah

Kondisi bencana ini mendapat perhatian khusus PC. IAI Kabupaten Padang Pariaman- Kota Pariaman, karena memang dalam struktur organisasi cabang, ada bidang Tanggap Bencana dan Pengabdian Masyarakat yang di koordinatori oleh Drs. Masrul, Apt.

Dalam waktu singkat, berkat kerjasama seluruh pengurus dan juga partisipasi berbagai pihak, selasa 21 juni 2016 bantuan telah disalurkan berupa uang tunai, pakaian dan makanan.


Kehadiran kami disambut baik oleh Bapak Suhardi selaku camat Lubuk Alung. Rombongan dipimpin oleh wakil ketua PC. IAI, ibu Dra. Elfi Delita, M. Farm, Apt. Beliau sangat bersemangat sekali, karena sejawat banyak yang berkesempatan ikut, meskipun disela kesibukan yang teramat padat. 


Di dampingi oleh Wali Nagari Lubuk Alung, bapak Hari Subrata, sampailah kami di Posko. Disana kami bertemu para ibu yang semuanya, tidak lagi memiliki tempat tinggal. 
"Rumah kami abih, buk", lirih salah seorang ibu berkata. Wajah sendu dan tatapan duka mereka membuat kami merasa betapa beratnya ujian ini. Sawah yang berumur 3-4 bulan semuanya dipenuhi oleh lumpur, ternak mereka mati. Tak kuasa kami berkata banyak selain memeluk dan berkata : 
" sabar ya, bu.. Semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik." 


Setelah puas bertemu dan menyerahkan bantuan, kami berjalan menuju lokasi. Masyaallah...semua rusak. Menggambarkan betapa dahsyatnya terjangan air malam itu. Dengan sedikit tersengal ibu Jaminar yang kami temui bercerita "saat itu kami sudah pasrah, tidak peduli lagi dengan rumah dan harta benda. Yang penting kami selamatkan nyawa". Allahu akbar..

Sungguh ini bukan kegiatan kepedulian semata, tetapi juga semacam wisata ruhiyah bagi kami. Perjalanan ini membuat kami memahami, betapa musibah, malang dan duka itu sekejap mata. Sebagai manusia kita ini apalah. 



Wali Jorong bapak Syafrudin sangat berterimakasih atas kehadiran kami. Beliau juga mendoakan semoga segala urusan kami dimudahkan Allah. Sedikit bantuan itu sangat berarti bagi mereka. Hanya saja ketika masyarakat tahu bahwa kami adalah Apoteker (Orang Farmasi), mereka mengira kalau bakal ada pelayanan pengobatan. Karna banyak yang mengeluh sakit juga, demam, gatal-gatal dan batuk. Semoga setelah ini ada dari tenaga kesehatan lain yang melakukan pengobatan gratis disini. mereka sangat membutuhkannya. 

Alhamdulillah, meskipun semua rombongan lagi berpuasa, Allah meringankan langkah dan mengirim awan hingga kami tidak merasa lelah dan kepanasan. Indahnya berbagi. 


-17 Ramadhan 1437 H-