Minggu, 26 Juni 2016

Menyulam Luka (2) - Perjalanan bergemuruh



Meskipun perjalanan yang kami tempuh cukup lama, tapi aku memilih tak banyak bicara. Sembari tetap fokus membawa kendaraan Mas Tomy selalu memancing percakapan, kujawab sekenanya saja. Fikiranku berkeliaran kemana-mana.  Pandanganku tak lepas mengikuti setiap jengkal jalan yang terlewati. Kalimat si Mbok kembali terngiang jelas, “Nak, Si Mbokmu ini bahagia ada yang berniat baik meminangmu. Tapi pesan Mbok , pilihlah seseorang yang kelak tak membuat jiwamu lelah menyertainya”. Kalimat si Mbok memang singkat. Tapi aku tahu betul bahwa perempuan pertama yang kucintai ini sedang mengajak untuk berfikir jauh. Beliau sangat menyayangiku, makanya sangat kawatir jika putri sulungnya terluka dan kecewa. Mas Tomy bukan orang biasa, lelaki pintar, baik , terpelajar dan berasal dari keluarga kaya.

Tak terasa kami sudah sampai dipintu gerbang rumah orang tua Mas Tomy.  Melihat bangunan 2 lantai dengan pekarangan  luas yang tertata rapi ini, akan membuat siapapun tahu siapa penghuninya. Taman yang dihiasi berbagai macam bunga semakin terlihat indah dengan lampu dan kolam kecil nan artistik. Jika tiang yang menyangga teras rumah kami hanyalah kayu sederhana, berbeda jauh dengan rumah mirip gedung ini. Kuperkirakan  beton yang berdiri megah itu berdiameter kurang lebih 60cm. Kokoh dan kuat, seolah-olah mengingatkanku , “selamat datang gadis cantik, semoga ini bukan kali pertama dan terakhir kamu berkunjung kesini”.  

Perasaan ku ini tidaklah berlebihan, mengingat cerita orang-orang yang kenal dekat dengan keluarga Mas Tomy. Dikabarkan, kedua orang tua Mas Tomy selalu melakukan seleksi ketat terhadap calon menantu mereka. Adalah tentang Shinta. Seorang gadis kenalan sahabatku yang sampai sekarang masih depresi akibat gagal menikah dengan kakak sulung Mas Tomy. Sebetulnya mereka ‘sekufu’. Sama-sama berasal dari keluarga berada, Shinta juga cantik dan terpelajar. Hanya saja belakangan tersiar kabar, kalau orang tua Mas Tomy berubah fikiran setelah mengetahui kalau Shinta memiliki seorang adik yang cacat mental.  Mereka malu dan khawatir jika nanti ada faktor genetik yang akan menurun pada cucu-cucu mereka. Pernikahan yang sudah didepan mata akhirnya dibatalkan. Demikian juga dengan kakak kedua Mas Tomy, memilih untuk menikah diam-diam dan sampai sekarang tidak pulang ke rumah hanya karna tidak mendapat restu. Pasalnya?, si calon menantu tidak punya pekerjaan. Bagi mereka, menantu perempuan berkarir adalah sebuah kebanggaan.

“Vin, kita sudah sampai”, sapa Mas Tomy lembut. Tatapan mata elangnya seolah-olah bicara, “ jangan gugup, Merpati cantik. Ada kekasihmu disini”. Seketika lamunanku buyar. Kami melangkah berbarengan menuju pintu rumah. Dadaku bergemuruh, degupnya lebih cepat dibandingkan ketika akan menghadapi ujian komprehensif setahun yang lalu.
Dengan basmalah, ku kuatkan kaki untuk melangkah.

(bersambung)

7 komentar:

  1. Uniiii, menulis apa pun tetap keren! Ditunggu lanjutannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe...Syukran, Mbak Nindy. Padahal uni belum Pede sih sebetulnya, tapi kalo ga dicoba..kapan bisanya?...hehe..trimakasih juga atas kunjungannya, mbak..insyaallah akan uni lanjutin..:)

      Hapus
  2. Ehm... aku sangat menikmati cerbungnya Uni... cemungudh terus ya...

    BalasHapus
  3. Ehm... aku sangat menikmati cerbungnya Uni... cemungudh terus ya...

    BalasHapus