Suatu hari ba'da subuh , pengurus mesjid mengabarkan berita duka. Seorang warga komplek perumahan kami meninggal dunia. Beberapa hari setelah itu, setiap kali kuedarkan pandangan, diperjalanan jelang ke kantor, setidaknya ada satu atau dua rumah yang di depannya ada bendera hitam. Pulang kampung, kabar meninggalnya warga tanah kelahiran silih berganti. Bertubi-tubi. Ada yang mendadak meninggal dunia tanpa menanggung sakit sebelumnya, kecelakaan, bahkan ada juga yang cuma diawali dengan pusing sedikit saja, setelah itu berbaring dan didapati telah tanpa nyawa. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Takdir. Allah yang Maha kuasa atas hidup mati siapa saja.
Jika kematian demi kematian itu tidak memberi pelajaran dan makna untuk sebuah muhasabah diri, rasanya merugi. Karna mati itu misteri. Tidak berkriteria, tidak memandang usia, apalagi jabatan dan tahta. Semua niscaya merasakannya, hanya tentang waktu dan giliran saja.
Bicara tentang kematian sepertinya tak bisa dilepaskan dari kehidupan. Karena, sebelum mendapat 'tiket' yang bakal diterima satu-satu tanpa pengecualian tersebut, tentu mesti ada bekal yang mesti dibawa. Ibarat akan menempuh perjalanan panjang, tanpa persiapan dan bekal yang cukup, pastilah yang akan ditemui itu penderitaan. Dan bekal kita bukan lah nasi kotak, bukan biskuit atau makanan ringan, tapi amalan.
Untuk kehidupan dunia, rata-rata kita cerdas berinvestasi. Reksadana, nabung emas batangan, tanam saham sana-sini, membeli properti dan aset sebanyak mungkin. Tujuannya tentulah sebagai proteksi diri, jikalau pailit, ada aset yang nilainya terus mengalir. Kita tenang dan lapang tanpa khawatir.
Tapi bagaimana dengan bekal untuk akhirat, seberapa banyakkah kita 'berinvestasi'?. Tidakkah kita ingin selalu ada pahala yang selalu mengalir disaat hidup telah berakhir?
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara yaitu : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau do'a anak yang sholeh (HR. Muslim)
Masyaallah, betapa sayangnya Allah pada kita. Dia yang Maha pengasih dan Maha Penyayang masih saja memberi jalan bagi kita disaat usia berakhir dan semuanya terputus. Kadang sempat terfikir, bagaimana jika tiga perkara itu tidak ada, semuanya berakhir dan ditutup. Dengan apalah dosa yang menggunung ini 'tertalangi'?
Kembali diri memaknai hidup. Putaran waktu yang cepat dan dunia yang penuh godaan. Ketika diri hanya disibukkan oleh urusan-urusan dunia yang melenakan. Pagi, siang sore, malam dan pagi lagi. Tak terasa usia bertambah dari tahun ke tahun, pastinya kesempatan berkurang.
Kita memiliki banyak orang yang kita sayang, tapi ketika nyawa tak lagi dibadan, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mereka menangis sehari dua hari saja, setelah itu lupa. Padahal bisa saja semasa hidup kita mati-matian memperjuangkan mereka, bahkan tanpa memikirkan ini halal atau haram. Sholat mudah saja diabaikan demi pekerjaan yang belum selesai, ibadah seadanya ketika bos meminta lembur. Ketika mati, tinggallah kita menanggung semuanya sendiri. Di tanyai, di mintai pertanggungjawaban.
Setelah semua terputus, sedekah jariyah seperti apakah yang bisa kita banggakan kelak didepan Allah? Jika spanduk bantuan dana untuk pembangunan mesjid yang membentang dimana-mana hanya dilewatkan begitu saja. Ketika ada yang menyodorkan kesempatan untuk meminta sedikit keping-keping yang ada pada pundi-pundi ditanyai dan dicurigai? Ketika perut kekenyangan dengan berbagai rupa-rupa makanan tapi enggan berbagi dengan si fakir, si miskin dan si yatim? Astaghfirullah...meruginya kami ya, Allah.
Ilmu bermanfaat apa yang kelak kita laporkan pada Allah? Sementara kita enggan menyampaikan kebenaran dan lebih memilih nyaman dan berkata 'biarkan sajalah'. Pekerjaan hanya dijalani seadanya saja dan miskin konstribusi? Bahkan ketika ada yang membuka jalan dan mewadahi, mendukung saja kita enggan. Allaah...ampunilah kami.
Doa anak sholeh dan sholehah, seberapa besar upaya kita menjadikan cahaya mata, buah kasih menjadi putra-putri nan sholeh sholehah? Mereka tidak pacaran kita resah, takut tak bertemu jodoh. Mereka berhijab lebar kita wanti-wanti," kamu hati-hati..banyak aliran sesat, jilbabnya biasa-biasa sajalah". Mereka tak tabarruj kita gaduh, "penampilan seperti ini perusahaan mana yang tertarik menerima kerja?". Dunia..oh dunia. Biar lah menantu tak sholat asalkan kaya, biarlah anak berpakaian minim asal uang darinya tetap mengalir. Astaghfirullah...ampuni kami ya Allah.
Pemandangan bendera hitam dan liang lahat itu kembali mengingatkan, betapa kehidupan dunia hanyalah senda gurau. Jika kita mau hijrah menjadi manusia yang lebih 'pintar', marilah mulai saat ini kita perbanyak 'investasi' untuk kehidupan akhirat. Bentuknya seperti apa tentu kita sudah banyak tahu. Hingga ketika hidup telah berakhir, pahala terus mengalir. Insyaallah..
*Kontemplasi, 07 Ramadhan 1437H
ikut bermuhasabah...
BalasHapusIdem...
HapusIya,Lisa..sama. Makasih ya, atas kunjungannya...
HapusIya,vinny..kita muhasabahnya bareng2 yah...
BalasHapusSelalu penuh hikmah dan nilai... tulisanmu begitu berarti uni... love it... so much ...
BalasHapusMakasih, mb indri.:). Dirimu juga begitu kreatif..uni juga suka tulisan2 mbak indri..
Hapus