Tentang Perjalanan

"Hidup adalah tentang sebuah perjalanan, dimana seseorang yang diam menetap tidak akan bisa berkembang sedangkan yang berpindah-pindah selalu mendapatkan kejutan dari sang pencipta yang membuat kita berbeda dari orang lain."

Tentang Kehidupan

"Jangan takut oleh kemarahan orang sehingga kita takut berkata dan bersikap jujur."

Tentang Kesungguhan

"Ketika kamu lelah dan kecewa, maka saat itu kamu sedang belajar tentang kesungguhan."

Tentang Kebijaksanaan

"Orang bijak menemukan kebijaksanaannya melalui kerasnya kehidupan."

Tentang Kesabaran

"Sejak kita menginginkan kebahagiaan dan kesuksesan, sejak itu pula kesabaran menjadi kewajiban kita."

Senin, 27 Juni 2016

Menyulam Luka (3) - Perih!



"Ini Vinny, Mi.. Pi",  Mas Tomy memperkenalkanku santun. Dengan sopan kutersenyum pada mereka sambil mengulurkan tangan. Belum sampai disambut, Maminya Mas Tomy cepat-cepat mempersilahkan duduk. Sementara Papinya tak mengalihkan pandangan sedikitpun dari koran yang sedang dibaca. Aku sedikit linglung. Sejenak suasana hening. Yang terdengar hanyalah detak jarum jam yang mengiringi irama degup jantungku. 

Sesungguhnya perasan gugup seperti ini bukanlah karakter seorang Vinny. Aku adalah seorang gadis periang dan penuh percaya diri. Dulu di kampus, aku cukup dikenal. Selain seorang aktivis, Si Mbok juga mewariskan raut cantik di wajahku. Setidaknya begitulah kata teman-teman. Hanya saja, karna beban dan pahitnya hidup yang kerap mendera, Si Mbok ku kelihatan lebih tua dari usianya. Jika dibandingkan dengan wanita lima puluh tahunan dihadapanku ini, tentu dia kelihatan lebih cantik, terawat pastinya.

Tak biasa ku diperhatikan sedetail ini. Tatapan Maminya Mas Tomy seolah-olah sedang mengamati kemasan biskuit di swalayan. Dilihat tanggal kadaluarsanya, komposisinya dan bila perlu izin produksinya. Ya, Allah...sedang berada dimana aku ini, batinku. Jam dinding seakan rusak, seolah waktu tak bergerak.

"Sudah lama mengenal, Tomy?", tanya sang Nyonya
"Vinny, Mi..", sela Mas Tomy. Aku tau Mas Tomy mulai risih dengan sikap kedua orangtuanya.
Tanpa menunggu koreksi, ku jawab saja , " Mas Tomy senior saya, Tante. Kami dulu kuliah di jurusan yang sama. Saya kenal Mas Tomy sejak awal kuliah, tepatnya saat masa orientasi". 
"Saya tahu itu",sambutnya menimpali. 
Kalimatku dipotong bak seorang penebang kayu yang dengan sekali ayun berhasil menebas dahan.

Ku alihkan pandangan pada lelaki yang sedari tadi begitu khusuk membaca koran. Seolah-olah saat ini sedang tidak ada siapa-siapa. Entah karna memang sangat hobi membaca atau sama sekali tidak tertarik dengan kehadiranku, ia tak hendak bergeming. 

Aku adalah wanita perasa, dari gestur dan sambutan kedua orang tua Mas Tomy terlihat jelas kalau mereka telah mengetahui latar belakang kehidupanku. Seorang gadis yang terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Abah yang seorang supir angkot dan si Mbok pedagang makanan di pasar. Beruntung sekali beliau dianugerahi tiga orang anak yang cerdas dan bersemangat, sehingga mampu menakhlukan universitas bonafid di kota ini. Kami kakak beradik juga sangat bangga pada Abah dan Si mbok. Pendidikan mereka tidak tinggi, tetapi mind set nya bagus. Kedua pahlawan ku ini tak pernah mengeluh didepan kami, hingga terkadang kami lupa, apa itu kemiskinan. 

" Jadiiii...oya, siapa namanya tadi?, oya Vinny ya?" lanjut Sang Mami. 
"Sebetulnya saya sudah dapat cerita panjang lebar tentang kamu dari Tomy. Beruntung sekali kamu bisa berteman dengan anak saya. Hanya saja, kamu harus tahu..dunia tak selalu indah seperti yang kamu fikir. Ok, saya sebentar lagi ada janji dengan relasi. Mari, Pap..". Sambil berdiri dia mengajak suaminya segera berangkat. Lelaki berkaca mata tebal itu segera melipat koran, tanpa melihat kepadaku sedikitpun, mereka berdua berlalu. Angkuh!

Allah..apakah aku sedang berada di alam mimpi? Ataukah ini hanya sebuah shooting sinetron yang sering tayang di televisi?. Sepahit-pahitnya hidupku belum pernah kumerasa dilecehkan seperti ini. Jika waktu bisa diputar dua jam saja kebelakang, ingin ku pegang wejangan si mbok yang melepasku dengan penuh keraguan. Takkan kubiarkan hati dan pendengaranku dirusak oleh kalimat yang sedemikian tajam. Tapi apa mungkin? realitanya saat ini aku sedang berada disini. Di iris dan ditumis.

Ku raih tas tanpa menghiraukan permintaan maaf Mas Tomy. Bahkan ketika ia berusaha mengejar, secepat itu juga ku berlari menuju taksi.

Mbok, aku butuh pelukanmu.

"Aku pulang.. 
Tanpa dendam
Ku terima, kekalahanku
Aku pulang..
Tanpa dendam..
Ku salutkan..
Kemenanganmu.."

Lirik lagu Sheila On Seven seakan tepat mewakili perasaanku saat ini.

Perih!


(bersambung)

Minggu, 26 Juni 2016

Menyulam Luka (2) - Perjalanan bergemuruh



Meskipun perjalanan yang kami tempuh cukup lama, tapi aku memilih tak banyak bicara. Sembari tetap fokus membawa kendaraan Mas Tomy selalu memancing percakapan, kujawab sekenanya saja. Fikiranku berkeliaran kemana-mana.  Pandanganku tak lepas mengikuti setiap jengkal jalan yang terlewati. Kalimat si Mbok kembali terngiang jelas, “Nak, Si Mbokmu ini bahagia ada yang berniat baik meminangmu. Tapi pesan Mbok , pilihlah seseorang yang kelak tak membuat jiwamu lelah menyertainya”. Kalimat si Mbok memang singkat. Tapi aku tahu betul bahwa perempuan pertama yang kucintai ini sedang mengajak untuk berfikir jauh. Beliau sangat menyayangiku, makanya sangat kawatir jika putri sulungnya terluka dan kecewa. Mas Tomy bukan orang biasa, lelaki pintar, baik , terpelajar dan berasal dari keluarga kaya.

Tak terasa kami sudah sampai dipintu gerbang rumah orang tua Mas Tomy.  Melihat bangunan 2 lantai dengan pekarangan  luas yang tertata rapi ini, akan membuat siapapun tahu siapa penghuninya. Taman yang dihiasi berbagai macam bunga semakin terlihat indah dengan lampu dan kolam kecil nan artistik. Jika tiang yang menyangga teras rumah kami hanyalah kayu sederhana, berbeda jauh dengan rumah mirip gedung ini. Kuperkirakan  beton yang berdiri megah itu berdiameter kurang lebih 60cm. Kokoh dan kuat, seolah-olah mengingatkanku , “selamat datang gadis cantik, semoga ini bukan kali pertama dan terakhir kamu berkunjung kesini”.  

Perasaan ku ini tidaklah berlebihan, mengingat cerita orang-orang yang kenal dekat dengan keluarga Mas Tomy. Dikabarkan, kedua orang tua Mas Tomy selalu melakukan seleksi ketat terhadap calon menantu mereka. Adalah tentang Shinta. Seorang gadis kenalan sahabatku yang sampai sekarang masih depresi akibat gagal menikah dengan kakak sulung Mas Tomy. Sebetulnya mereka ‘sekufu’. Sama-sama berasal dari keluarga berada, Shinta juga cantik dan terpelajar. Hanya saja belakangan tersiar kabar, kalau orang tua Mas Tomy berubah fikiran setelah mengetahui kalau Shinta memiliki seorang adik yang cacat mental.  Mereka malu dan khawatir jika nanti ada faktor genetik yang akan menurun pada cucu-cucu mereka. Pernikahan yang sudah didepan mata akhirnya dibatalkan. Demikian juga dengan kakak kedua Mas Tomy, memilih untuk menikah diam-diam dan sampai sekarang tidak pulang ke rumah hanya karna tidak mendapat restu. Pasalnya?, si calon menantu tidak punya pekerjaan. Bagi mereka, menantu perempuan berkarir adalah sebuah kebanggaan.

“Vin, kita sudah sampai”, sapa Mas Tomy lembut. Tatapan mata elangnya seolah-olah bicara, “ jangan gugup, Merpati cantik. Ada kekasihmu disini”. Seketika lamunanku buyar. Kami melangkah berbarengan menuju pintu rumah. Dadaku bergemuruh, degupnya lebih cepat dibandingkan ketika akan menghadapi ujian komprehensif setahun yang lalu.
Dengan basmalah, ku kuatkan kaki untuk melangkah.

(bersambung)

Sabtu, 25 Juni 2016

Menyulam Luka (1)- Ketika Cinta Datang


Luka itu sudah kubalut, tak perih lagi, dan jaringan baru telah terbentuk. Kamu tak usah khawatir, tidak terjadi infeksi, hanya saja sobeknya meninggalkan bekas. Meskipun ku telah berupaya menghilangkannya, tetapi tetap saja sulit dilupa.

Hari ini, dari pulau yang berjarak puluhan kilometer dari kampung halaman, di sebuah gedung mewah berlatarkan pemandangan yang menakjubkan, lirihku ucapkan hamdalah sebagai rasa syukur atas nikmat yang Allah berikan. Sembari tersenyum sedikit sinis, kuhembuskan nafas perlahan dan berkata, "terimakasih atas torehan perih itu Nyonya!. It's me". Wajah teduh lelaki yang baru seminggu menemani hidupku tiba-tiba sumbringah, ketika erat kurangkul lengannya. Sungguh, janji Allah pasti. Sosok seperti dialah yang kubutuhkan. Menenangkan, bukan menambah lelah jiwa.

***

Lima tahun yang lalu.

"Aku serius mau menikahimu, Merpati cantik.  Tapi sebelum meminang , ku ingin perkenalkan kamu pada Mami. Mau kan?", pinta sahabat yang dua bulan belakangan menyatakan cintanya padaku. Hati perempuan mana yang tak bahagia, merekah, merona bak kelopak mawar ketika lelaki yang selama ini diam-diam dikagumi mau meminang? Andaikan saat itu tiada orang lain, ingin ku berteriak, " Duniaaaaa...aku bahagiaaaa", lalu menari sambil menyanyi, lari-lari kecil dari pohon ke pohon. Sayang, ini bukanlah film India. 

Hari ini ku berdandan cantik. Gaun terindah yang kupunya memang sangat sederhana. Gaji sebagai karyawati di perusahaan swasta tidaklah seberapa, sementara kedua orang tua dan adik-adik juga harus dibiayai, jadi mana mungkin kubisa berlagak seperti gadis-gadis pada umumnya?. Syukurlah, gaun yang kubeli jelang idul fitri tahun kemaren ini masih kelihatan bagus. Sambil memoleskan lipgloss berwarna netral di seulas bibir, aku siap menanti Mas Tomy, mantan senior yang sejak semester dua semasa kuliah dulu sudah mencuri hati.

Sebuah mobil mewah terparkir didepan teras rumah semi permanen kami, tampak sangat kontras sekali dengan pemandangan  disekitarnya. Aku tahu, dikiri kanan banyak tetangga yang ingin tahu. Siapakah gerangan pria necis yang menjemputku?, tapi biar sajalah, nanti mereka juga akan kuberi tahu. Setelah pamit pada si Mbok dan Abah, kami berangkat, semua tentang Mas Tomy juga sudah kujelaskan. Meskipun banyak keraguan yang ku tangkap dari kedua pasang mata orang yang paling kusayang. Tapi beliau mengizinkan dengan sejuta wejangan.

Malam penuh harapan, tapi dari sinilah perih itu dimulai.


#Fiksi

(bersambung)

Selasa, 21 Juni 2016

Sebentuk Kepedulian Apoteker Padang-Pariaman dan Kota Pariaman terhadap bencana 'galodo' di jorong Surantiah

Peyerahan Bantuan pada Wali Nagari untuk korban galodo 
Sejak kepengurusan PC. IAI Padang-Pariaman-Kota Pariaman dilantik september 2015 lalu, yang di ketuai oleh Drs. Yutiardy Rivai, Apt, Apoteker di kabupaten- kota bertetangga ini telah berhasil melaksanakan berbagai kegiatan. Baik itu kegiatan seminar, diskusi ilmiah guna mengupdate ilmu para anggota, temu tokoh, maupun kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya positif. Bisa dikatakan, 'gairah' dan sinergisitas itu semakin terasa. Semua bersemangat. 

Rumah rusak berat

Hujan bercurah tinggi sejak sore hari kamis 16 juni lalu telah mengakibatkan bencana galodo (banjir lumpur) di jorong Surantiah  kecamatan Lubuk Alung kabupaten Padang Pariaman. Meskipun dikabarkan tidak ada  korban jiwa, tetapi kerugian materi diperkirakan sangat banyak. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah genangan lumpur, sementara rumah masyarakat sudah rata dengan tanah, meskipun ada tetapi dalam kondisi rusak berat.

Lokasi Rumah Penduduk yang sudah rata dengan tanah

Kondisi bencana ini mendapat perhatian khusus PC. IAI Kabupaten Padang Pariaman- Kota Pariaman, karena memang dalam struktur organisasi cabang, ada bidang Tanggap Bencana dan Pengabdian Masyarakat yang di koordinatori oleh Drs. Masrul, Apt.

Dalam waktu singkat, berkat kerjasama seluruh pengurus dan juga partisipasi berbagai pihak, selasa 21 juni 2016 bantuan telah disalurkan berupa uang tunai, pakaian dan makanan.


Kehadiran kami disambut baik oleh Bapak Suhardi selaku camat Lubuk Alung. Rombongan dipimpin oleh wakil ketua PC. IAI, ibu Dra. Elfi Delita, M. Farm, Apt. Beliau sangat bersemangat sekali, karena sejawat banyak yang berkesempatan ikut, meskipun disela kesibukan yang teramat padat. 


Di dampingi oleh Wali Nagari Lubuk Alung, bapak Hari Subrata, sampailah kami di Posko. Disana kami bertemu para ibu yang semuanya, tidak lagi memiliki tempat tinggal. 
"Rumah kami abih, buk", lirih salah seorang ibu berkata. Wajah sendu dan tatapan duka mereka membuat kami merasa betapa beratnya ujian ini. Sawah yang berumur 3-4 bulan semuanya dipenuhi oleh lumpur, ternak mereka mati. Tak kuasa kami berkata banyak selain memeluk dan berkata : 
" sabar ya, bu.. Semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik." 


Setelah puas bertemu dan menyerahkan bantuan, kami berjalan menuju lokasi. Masyaallah...semua rusak. Menggambarkan betapa dahsyatnya terjangan air malam itu. Dengan sedikit tersengal ibu Jaminar yang kami temui bercerita "saat itu kami sudah pasrah, tidak peduli lagi dengan rumah dan harta benda. Yang penting kami selamatkan nyawa". Allahu akbar..

Sungguh ini bukan kegiatan kepedulian semata, tetapi juga semacam wisata ruhiyah bagi kami. Perjalanan ini membuat kami memahami, betapa musibah, malang dan duka itu sekejap mata. Sebagai manusia kita ini apalah. 



Wali Jorong bapak Syafrudin sangat berterimakasih atas kehadiran kami. Beliau juga mendoakan semoga segala urusan kami dimudahkan Allah. Sedikit bantuan itu sangat berarti bagi mereka. Hanya saja ketika masyarakat tahu bahwa kami adalah Apoteker (Orang Farmasi), mereka mengira kalau bakal ada pelayanan pengobatan. Karna banyak yang mengeluh sakit juga, demam, gatal-gatal dan batuk. Semoga setelah ini ada dari tenaga kesehatan lain yang melakukan pengobatan gratis disini. mereka sangat membutuhkannya. 

Alhamdulillah, meskipun semua rombongan lagi berpuasa, Allah meringankan langkah dan mengirim awan hingga kami tidak merasa lelah dan kepanasan. Indahnya berbagi. 


-17 Ramadhan 1437 H-











Senin, 13 Juni 2016

Parenting Skill, Perlukah? (Sentilan Fatih pada Ummi..)


Saat-saat paling indah adalah ketika bisa mengikuti setiap step tumbuh kembang anak. Mulai ketika ia belajar tersenyum, telungkup, merangkak, sampai ketika sepatah kata terucap dari bibir mungilnya. 
" miiiii..."
" biiiiii..."
Subhanallah, itu adalah sebuah kebahagian luar biasa yang dirasakan ibu dan ayah ketika pertama kali mendengarkannya. Bersyukurlah atas segala anugrah.

Seiring berjalannya waktu, anak terus bertumbuh dan berkembang. Sebagai orang tua tentu kita juga harus bersiap-siap menambah ilmu untuk mengiringinya. Kenapa? Karena mereka hidup di zaman yang sungguh berbeda dengan orang tuanya. 

Dulu, sampai tahun 90-an, seorang anak yang duduk manis diatas bantal akan spontan beranjak ketika ibunya menegur, "jangan duduk diatas bantal, nak. Nanti kamu bisulan", Ga akan pernah terdengar pertanyaan: " kok bisa bisulan, mi?. Gimana caranya, kan bantal ini bersih". Pertanyaan kritis itu jarang sekali muncul, dan ibu-ibu juga ga perlu kalang kabut nyiapin jawaban yang bisa dicerna sang anak. 

Atau saat ibu bilang "Duuuuuh, kamu jangan tidur telungkup. Mau, ibu mati?"
Anak tidur telungkup apa hubungannya dengan kematian ibu?, ga nyambung amat. Tapi begitulah dulu cara seorang ibu menakut-nakuti anaknya. Agar dada tidak sakit atau apalah, tetapi bisa dipastikan kalau anak akan segera merubah posisi seketika tanpa banyak bertanya kenapa begini dan begitu.

Itu dulu, ga cocok lagi diterapkan dalam mendidik anak-anak sekarang. Zaman telah berubah. 

Suatu hari kami sangat terkejut ketika Fatih (3,5 tahun) tiba-tiba bilang :
" Fatih ga sayang sama Allah. Allah itu mayah-mayah (marah versi cadel Fatih) aja kerjanya". Wadduh? kami tiba-tiba terpana. 

Rupanya setelah difikir-fikir, ternyata Fatih bilang begitu karena salah kami juga. Setiap kali melakukan kesalahan, seperti ketika ia ga mau 'cebok' setelah pipis, pegang alqur'an ga baik-baik, gangguin orang sholat, ngomong keras atau hal-hal tak baik lainnya, sering banget dibilangin begini : "Jangan, nak...nanti Allah marah"
"Habis pipis dibersihin pake air, kalau tidak Allah marah"
"Jangan gangguin si Oma sholat ya, nak..nanti Allah marah"
"Itu Alqur'an, sayang..pegangnya baik-baik. Kalau sobek nanti Allah marah"

Ternyata kalimat Allah marah dan Allah marah lagi lah yang membuat Fatih kecil berfikir kalau Allah itu suka marah-marah. Nah..munculah kalimat dari mulut mungil Fatih seperti tadi, yang pastinya membuat orangtua harus menyusun kata, membersihkan fikiran anak agar tidak menganggap Allah pemarah lagi. 

Jadi, anak-anak sekarang beda bukan?
 
Setiap hari ada saja pertanyaan kritis dan celotehan ajaib dari dari balita abad 20-an. Bagaimana mungkin orangtua bisa mendidik dengan baik jika tidak dibarengi dengan ilmu dan kesabaran, plus mengaplikasikannya. Ga lucu juga kan, jika puluhan buku dan seminar  Parenting Skill  dipelajari, tapi saat kepepet suka khilaf, lupa teori. 

Jadi orangtua berat memang. Apalagi jika anak hampir seusia. Ditambah lagi jika ibu  ada aktivitas diluar rumah yang menguras energi.  Memainkan tiga peran sekaligus , sebagai ibu, sebagai istri dan wanita bekerja bukanlah perkara mudah. Sepuluh jempol buat yang bisa melakoni peran-peran tersebut dengan baik. 

Tetapi, bukankah imbalan menjadi orangtua yang mampu mendidik anaknya dengan baik adalah surga? bahkan juga ada bonus berupa pahala yang tiada terputus jika berhasil menjadikan cahaya mata kita sholeh dan sholehah. Doanya menembus langit. Subhanallah..
Maha Suci Allah dengan segala kebesarannya. 

Mari perbanyak rasa syukur dengan cara menjaga amanah terindah Allah sebaik-baiknya. Mendidik dengan ilmu. mendidik dengan sabar. Mendidik dengan ketulusan hati. Insyaallah..surga menanti. 




*Ramadhan 09, 1437H*






Sabtu, 11 Juni 2016

Hidup Boleh Berakhir, Tetapi Pahala Harus Tetap Mengalir


Suatu hari ba'da subuh , pengurus mesjid mengabarkan berita duka. Seorang warga komplek perumahan kami meninggal dunia. Beberapa hari setelah itu, setiap kali kuedarkan pandangan, diperjalanan jelang ke kantor, setidaknya ada satu atau dua  rumah yang di depannya ada bendera hitam. Pulang kampung, kabar meninggalnya warga tanah kelahiran silih berganti. Bertubi-tubi. Ada yang mendadak meninggal dunia tanpa menanggung sakit sebelumnya, kecelakaan, bahkan ada juga yang cuma diawali dengan pusing sedikit saja, setelah itu berbaring dan didapati telah tanpa nyawa. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Takdir. Allah yang Maha kuasa atas hidup mati siapa saja. 

Jika kematian demi kematian itu tidak memberi pelajaran dan makna untuk sebuah muhasabah diri, rasanya merugi. Karna mati itu misteri. Tidak berkriteria, tidak memandang usia, apalagi jabatan dan tahta. Semua niscaya merasakannya, hanya tentang waktu dan giliran saja. 

Bicara tentang kematian sepertinya tak bisa dilepaskan dari kehidupan. Karena, sebelum mendapat 'tiket' yang bakal diterima satu-satu tanpa pengecualian tersebut, tentu mesti ada bekal yang mesti dibawa. Ibarat akan menempuh perjalanan panjang, tanpa persiapan dan bekal yang cukup, pastilah yang akan ditemui itu penderitaan. Dan bekal kita bukan lah nasi kotak, bukan biskuit atau makanan ringan, tapi amalan. 

Untuk kehidupan dunia, rata-rata kita cerdas berinvestasi. Reksadana, nabung emas batangan, tanam saham sana-sini, membeli properti dan aset sebanyak mungkin. Tujuannya tentulah sebagai proteksi diri, jikalau pailit, ada aset yang nilainya terus mengalir. Kita tenang dan lapang tanpa khawatir. 

Tapi bagaimana dengan bekal untuk akhirat, seberapa banyakkah kita 'berinvestasi'?. Tidakkah kita ingin selalu ada pahala yang selalu mengalir disaat hidup telah berakhir?

Dalam sebuah hadist shohih disebutkan bahwa ;
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara yaitu : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau do'a anak yang sholeh (HR. Muslim)

Masyaallah, betapa sayangnya Allah pada kita. Dia yang Maha pengasih dan Maha Penyayang masih saja  memberi jalan bagi kita disaat usia berakhir dan semuanya terputus. Kadang sempat terfikir, bagaimana jika tiga perkara itu tidak ada, semuanya berakhir dan ditutup. Dengan apalah dosa yang menggunung ini 'tertalangi'?

Kembali diri memaknai hidup. Putaran waktu yang cepat dan dunia yang penuh godaan. Ketika diri hanya disibukkan oleh urusan-urusan dunia yang melenakan. Pagi, siang sore, malam dan pagi lagi. Tak terasa usia bertambah dari tahun ke tahun, pastinya kesempatan berkurang. 

Kita memiliki banyak orang yang kita sayang, tapi ketika nyawa tak lagi dibadan, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mereka menangis sehari dua hari saja, setelah itu lupa. Padahal bisa saja semasa hidup kita mati-matian memperjuangkan mereka, bahkan tanpa memikirkan ini halal atau haram. Sholat mudah saja diabaikan demi pekerjaan yang belum selesai, ibadah seadanya ketika bos meminta lembur. Ketika mati, tinggallah kita menanggung semuanya sendiri. Di tanyai, di mintai pertanggungjawaban.

Setelah semua terputus, sedekah jariyah seperti apakah yang bisa kita banggakan kelak didepan Allah? Jika spanduk bantuan dana untuk pembangunan mesjid yang membentang dimana-mana hanya dilewatkan begitu saja. Ketika ada yang menyodorkan kesempatan untuk meminta sedikit keping-keping yang ada pada pundi-pundi ditanyai dan dicurigai? Ketika perut kekenyangan dengan berbagai rupa-rupa makanan tapi enggan berbagi dengan si fakir, si miskin dan si yatim? Astaghfirullah...meruginya kami ya, Allah.

Ilmu bermanfaat apa yang kelak kita laporkan pada Allah? Sementara kita enggan menyampaikan kebenaran dan lebih memilih nyaman dan berkata 'biarkan sajalah'. Pekerjaan hanya dijalani seadanya saja dan miskin konstribusi? Bahkan ketika ada yang membuka jalan dan mewadahi, mendukung saja kita enggan. Allaah...ampunilah kami. 

Doa anak sholeh dan sholehah, seberapa besar upaya kita menjadikan cahaya mata, buah kasih menjadi putra-putri nan sholeh sholehah? Mereka tidak pacaran kita resah, takut tak bertemu jodoh. Mereka berhijab lebar kita wanti-wanti," kamu hati-hati..banyak aliran sesat, jilbabnya biasa-biasa sajalah". Mereka tak tabarruj kita gaduh, "penampilan seperti ini perusahaan mana yang tertarik menerima kerja?". Dunia..oh dunia. Biar lah menantu tak sholat asalkan kaya, biarlah anak berpakaian minim asal uang darinya tetap mengalir. Astaghfirullah...ampuni kami ya Allah.

Pemandangan bendera hitam dan liang lahat itu kembali mengingatkan, betapa kehidupan dunia hanyalah senda gurau. Jika kita mau hijrah menjadi manusia yang lebih 'pintar', marilah mulai saat ini kita perbanyak 'investasi' untuk kehidupan akhirat. Bentuknya seperti apa tentu kita sudah banyak tahu. Hingga ketika hidup telah berakhir, pahala terus mengalir. Insyaallah..




*Kontemplasi, 07 Ramadhan 1437H