Tentang Perjalanan

"Hidup adalah tentang sebuah perjalanan, dimana seseorang yang diam menetap tidak akan bisa berkembang sedangkan yang berpindah-pindah selalu mendapatkan kejutan dari sang pencipta yang membuat kita berbeda dari orang lain."

Tentang Kehidupan

"Jangan takut oleh kemarahan orang sehingga kita takut berkata dan bersikap jujur."

Tentang Kesungguhan

"Ketika kamu lelah dan kecewa, maka saat itu kamu sedang belajar tentang kesungguhan."

Tentang Kebijaksanaan

"Orang bijak menemukan kebijaksanaannya melalui kerasnya kehidupan."

Tentang Kesabaran

"Sejak kita menginginkan kebahagiaan dan kesuksesan, sejak itu pula kesabaran menjadi kewajiban kita."

Minggu, 31 Juli 2016

Lelah Yang Belum Bermuara (Kisah Dahsyatnya Kasih Sayang Seorang Ibu)



“Antrian nomer berapa, nak?”, sapa perempuan yang baru saja duduk disebelahku. Dari awal masuk pintu ruangan yang begitu sejuk ini, ibu berusia skitar 70 tahunan ini memang telah menarik perhatianku dan mungkin juga orang-orang yang duduk berjejer menanti giliran nomernya dipanggil.

“Nomer 46 B, bu. Klo ibu nomer berapa?”, kubalik bertanya.
“108 A, nak”, jawabnya sembari memperlihatkan kertas kecil hasil print out ketika masuk tadi.

Kami sama-sama sedang antri disebuah bank. Sengaja pulang kantor kulangsung kesini, minta pergantian kartu ATM yang sudah melewati limit waktu. Transaksi perbankan sekarang memang sangat mudah, bahkan  seseorang bisa berkirim uang dari mana saja dan kapan saja dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Praktis, aman dan nyaman.

“Ooo, ibu nanti ke teller ya?. Klo saya ada keperluan sama customer servicenya, bu”, sambungku.
“Iya,nak..ibu mau berkirim uang untuk anak ibu. Dia di Jakarta”, jawabnya tersenyum sambil merapikan jilbab yang sedikit miring hingga anak-anak rambut yang mulai memutih menyembul keluar. Matanya terlihat lelah. Tiba-tiba aku teringat nenek. Kira-kira beliau seusia ibu ini.

Antrian yang cukup lama membuatnya punya kesempatan bercerita. Aku tidak banyak bertanya, hanya saja si ibu menyambung sendiri keterangan demi keterangan. Tiba-tiba ku tersenyum sendiri. Teringat masa-masa yang dilalui. Sejak SMP sampai sekarang  aku sering dijadikan “tong sampah” kisah-kisah. Meskipun tak mengerti apa yang sedang mereka ceritakan, tetapi yang kulakukan hanya lah mendengar. Setelah selesai, mungkin hanya bisa sedikit memberi saran. Itupun jika aku paham. Entah tentang pacar-pacar mereka, kejahatan seksual yang mereka alami atau kisah-kisah rumah tangga dari yang tragis sampai berseri namun penuh duri. Ah..inilah yang namanya hidup. Rangkaian kisah demi kisah yang pasti berakhir. Kadang karena keseringan mendapat cerita inilah yang membuatku sedikit hati-hati dalam segala hal.

“Anak ibu empat orang, 2 pasang. Semuanya merantau. Bapak sudah lama meninggal. Tapi sanak saudara ada disekitar rumah, jadi ibu tak kesepian. 3 orang anak ibu sudah menikah. Semuanya macam-macam perangainya. Mereka sudah berkeluarga tapi sering minta uang pada ibu. Ada-ada saja alasannya. Yang namanya seorang ibu, tentu tak sampai hati kalau anak sudah mengeluh kesusahan. Syukurlah ibu masih mampu berdagang. Sedikit-sedikit uang ibu tabung. Tapi setiap terkumpul, ada saja anak yang membutuhkan”.

Kusimak curhatan ibu ini dengan seksama, sambil menatap bola matanya yang tak lagi jernih. Sekuat atau sebugar apapun beliau, pasti setiap sendi dan organ tubuh telah kurang fungsinya termakan usia. Tapi semangatlah yang membuatnya kelihatan kuat. Seharusnya beliau sekarang telah beristirahat. Setidaknya rehat dari memikirkan kebutuhan anak.  Tapi nyatanya? Lelah belum berakhir.

“ Jadi sekarang ibu mentransfer uang untuk anak ibu yang mana?. Yang suaminya pengangguran, atau anak lelaki ibu yang sakit itu?”, kali ini aku yang penasaran.

“Bukan, kalau mereka bulan lalu sudah ibu kirim sedikit uang. Kali ini ibu  mau memasukkan uang ke rekening anak ibu yang bungsu. Sebetulnya dia sudah bekerja dan tidak meminta. Tapi ibu tahu, berapalah gaji sebagai pelayan toko. Dia anak bujang. Ibu kasihan. Dia tak mau sebetulnya ibu kasih uang, tapi ibu merasa tak adil, kakaknya yang telah berkeluarga saja ibu bantu. Tapi dia tidak pernah. Ibu takut nanti dikemudian hari dia mengumpat pada ibu”, sambungnya.

Allahu akbar", desisku membatin. Sebetulnya hatimu terbuat dari apa, bu?. Susah payah engkau membesarkan mereka sampai akhirnya semua beranjak dewasa, bahkan telah berkeluarga. Dan sekarang, semua keluhan mereka engkau tampung dan fikirkan?. Bukankan sekarang anak gadismu sudah bersuami dan punya tanggung jawab penuh padanya? Dan bukankah anak lelakimu sudah tumbuh kekar dan punya bekal kaki dan tangan untuk mengais rezeki yang tersimpan dibumi atau menggantung dilangit?, lalu kenapa masih bersandar pada tubuh renta yang setiap hari harus menjual sayur dan kelapa?

Mungkin nasib itu berbeda-beda. Tetapi sebagai anak, jika telah dewasa apalagi telah berkeluarga, usahakanlah untuk tidak menceritakan kesusahan pada orang tua. Jika tiada bisa memberi tak apa-apa. Tetapi ceritakanlah hal-hal bahagia saja. Karena sudah menjadi fitrah orang tua memikirkan anak sepanjang hayatnya.

Kugenggam tangan si ibu yang mulai keriput, kukatakan “ sabar ya, bu..Allah tahu betapa dalamnya kasih sayang ibu pada mereka. Jaga kesehatan ibu”.

“Makasih, Nak. Anak ibu ini Bidan ya?”, tanyanya sambil mengamati seragam putih yang kukenakan.

“Tidak, bu..Saya Apoteker. Bagian Obat”, kupilih kata yang mengundang anggukan dan senyumnya tanda mengerti.

***
NOMER ANTRIAN 46B, CS 2. Melalui pengeras suara giliranku dipanggil. Setelah pamit pada ibu tadi, aku melangkah gontai menuju meja CS. Menarik nafas dan melepaskannya perlahan.