Sabtu, 24 September 2016

Menyulam Luka (8) - Hijrah



Dingin sekali, kembali kutarik selimut rapat-rapat. Berharap malam masih panjang sehingga pagi tak buru-buru memaksaku agar segera bangkit dari tempat tidur. Rutinitas terkadang membuatku lelah. Apalagi sekarang pekerjaan kantor sangat banyak. Sampel dari berbagai produk setiap hari menanti untuk disentuh, diperiksa dan dilaporkan. Aku dan tim biasanya memang sangat menikmati pekerjaan ini. Tapi sesekali, jenuh pastilah ada. Karena Vinny juga manusia.
Sesaat mata kupejamkan kembali, tubuh yang meringkuk dibalik selimut tak tahan dengan dingin yang menusuk. Dari kamar sebelah sayup terdengar alunan tilawah dari seseorang yang suaranya tak asing lagi. Setiap ayat demi ayat yang dibacanya seumpama hangatnya mentari yang merasuk lembut ke relung hatiku. Suara lembut dengan makraj huruf yang jelas.

Aku tahu, itu suara Nia. Gadis berkacamata minus yang memang selalu tidur lebih awal dan bangunpun lebih dulu. Setelah qiyamul lail biasanya Nia memang selalu tilawah sembari menunggu waktu subuh. Hidupnya begitu teratur. Tenang dan kelihatan nyaris tanpa riak. Dia sangat menikmati setiap sujud panjangnya. Pernah suatu hari diam-diam kuintip dari celah pintu. Dia sedang berdoa sambil terisak. Entah apa yang diadukannya pada Allah. Tapi terlihat jelas, betapa Nia sangat menikmati curhat pada sang Maha Kuasa. Tanpa sadar, Nia adalah guru bagiku. Guru spiritual, lewat teladannya dikeseharian.

***

“Vinny, kamu apa kabar? Jarang banget nelfon aku. Sibuk ya, Non?” suara nyaring Lina memberondongku dengan pertanyaan. Aku tertawa. Pertanda betapa aku rindu padanya. Ingat bagaimana perjuangan kami selama bekerja di Jakarta.  Aku bahkan takkan pernah lupa dengan dia yang selalu ada untukku dalam suka maupun duka. Ah, Lina. Sahabatku.

“ Aku baik-baik saja, Lin. Kamu disana gimana?” balik kubertanya.

“Alhamdulillaah, baik Vin. Tapi biasalah..berburu target-target kerja yang tak berkesudahan. Apalagi jelang akhir tahun? Kebayang kan?” jawabnya.

“Iya, aku tahu. Bahkan bagaimana tampangmu saat lagi suntuk karena pekerjaanpun aku tahu..hahaha” ga tahan kugoda Lina.

“ Tampang manis pastinya” balasnya tak mau kalah. Lalu kami sama-sama tertawa lepas. Sejenak senyap. Lalu sesi kedua kami lanjutkan. Seperti biasa. Dari dulu hingga sekarang. Apa itu? Sesi curhat.

“Lina, coba deh sekarang kamu liat foto terbaru yang kukirim ke BBM mu barusan..”. Sebuah gambar memang baru kukirim. Dan aku ingin Lina mengomentarinya.

“Vinny...kamu dapat hidayah dari mana?, cantik. Lebih anggun malah. Sejak kapan?. Kamu yakin bisa istiqomah? Jangan main-main lho, jangan sekedar ngikutin trend”. Lagi-lagi Lina memberondongku dengan pertanyaan yang diiringin sorakan histerisnya.

“Aku harus jawab yang mana dulu ini, Lin?” potongku.

“Terserah aja deh, yang penting semua pertanyaanku kamu jawab dengan tuntas, gamblang dan terpercaya” jawabnya meminjam tagline sebuah infotainment.

“Sejak 2 hari yang lalu, Lin. Persis dihari ulang tahunku. Insyaallah. Aku hijrah bukan karena saat ini lagi trend jilbab syar’i. Tapi ini buah dari pencarian dan pergolakan batinku sejak 6 bulan yang lalu. Aku baca, kudiskusikan, kuperhatikan, kupertimbangkan dan akhirnya kuputuskan. Aku sangat yakin, ketika Allah perintahkan dalam Alqur’an untuk menjulurkan jilbab dari punggung hingga ke dada, tujuannya adalah untuk menjaga kehormatan wanita. Aku sekarang sudah 27 tahun, Lin. Siapa yang menjamin usiaku sampai di angka 28, 29 atau 30 tahun.  Bahkan sedetik kedepanpun kita tidak tahu apa yang terjadi. Aku menyesal telah banyak membuang-buang waktu. Agama yang kuyakini sedari dulu takku pelajari dengan sempurna. Aku bersyukur bisa Allah pertemukan dengan Nia. Lewat dia Allah kirimkan hidayah padaku. Aku banyak dipinjamkan buku-buku agama. Setiap ada yang tak kumengerti selalu dijawabnya dengan lugas dan jelas. Aku melihatnya mengikuti kajian tiap minggu. Dia bilang, itu halaqoh, tempat mengcas semangat untuk lebih giat lagi beribadah. Dia tak banyak bicara. Tapi taqwanya membias.” Panjang lebar kujelaskan pada Lina rasa ini. Dia pasti tidak tahu, kalau saat ini ada bulir hangat yang jatuh dipipiku.

“Subhanallaah, Vin. Aku turut bahagia mendengarnya. Semoga Allah juga memberi kesempatan padaku untuk menjemput hidayahnya” parau kudengar suara Lina diseberang sana. Aku sangat mengenalnya. Meskipun sedikit tomboy dan cuek, Lina perasaannya sangat halus. Dia mudah terharu dan tersentuh.

“Aamiin..allahumma aamiin” jawabku cepat.

“Oya, Vin. Apa komentar Bang Fadhil liat perubahan penampilanmu?”, iseng Lina kumat lagi. Aku ingat, kalau beberapa kali aku pernah cerita tentang ikhwan bernama Alfadhil seorang high quality jomblo dikantor padanya.

“Lin, ingat ya..aku hijrah bukan karena dia tapi karna-NYA. Allah semata,” jawabku kesal.

“Heiii..jangan marah, Non..aku kan cuma nanya komentarnya..haha,” goda Lina lagi.

“Tidak ada. Udah dulu yaa...aku mau beres-beres dulu..assalamu’alaikum Lina cantik” potongku.
“Wa’alaikumsalam...” jawab Lina diseberang sana. Klik.  

Aku tersenyum sembari menutup telfon. Sekilas memang terlintas bayangan Bang Fadhil yang menatapku dari kejauhan sesaat setelah aku masuk kantor dengan penampilan baru.
Cepat-cepat ku istighfar. Sembari berdoa pada-NYA, agar senantiasa menjaga niat semula yang hanya karna-NYA. Kembali ku teringat kalimat dari sebuah buku yang kemaren kubaca “Jika kita hijrah karna sebab selain Allah, maka semua akan hilang bersama hilangnya sebab itu”. Dan aku tidak inginkan itu.

(Bersambung)



4 komentar: