Senin, 19 September 2016

Cermin


"Dia tak mau berubah, Uni. Keras kepala. Aku juga ingin punya istri yang lembut, mau mendengar kata-kataku. Andaikan saja aku dianugerahi istri sholehah..," kalimatnya menggantung. Kepulan asap rokoknya membuatku terbatuk-batuk. Sambil mengibaskan tangan tegas kukatakan, " Jika masih mau bercerita, matikan rokoknya!". Dia tertegun. Tapi rokok kretek yang masih tersisa separuh buru-buru dijatuhkan ke tanah, diinjak. Lalu pandangan kembali dilemparkannya ke hamparan sawah yang mulai menguning.

Siang itu terlihat burung-burung sesekali merenggut bulir padi yang penuh berisi. Tapi mereka takkan dibiarkan. Tangan kekar itu dengan cepat menarik tali yang membentang diagonal dari pematang ke pematang sawah. Hingga kaleng-kaleng yang bergelantungan berbunyi. Burung-burungpun lari.

Dia adalah sepupuku. Telah menikah 2 tahun yang lalu. Dianugerahi seorang putri cantik yang sekarang berusia 1 tahun. Masa-masa manis seharusnya. Tapi tidak bagi Kemal. Demikian biasanya dia dipanggil. Meskipun nama yang diberikan bapaknya adalah Akmal. Tapi dari dulu semua memanggil Kemal. Ah, sejak kecil dia memang unik. Cara berfikirnya sulit ditebak. Hingga terkadang ayahnya yang juga adalah pamanku sering pusing dengan sikapnya yang bosenan.

"Mal, dengar nasehat Uni mu ini baik-baik. Jika sekiranya ada yang benar, tolong kau dengarkan. Tapi jika Uni salah, bisa juga kau luruskan," ucapku serius. 

Dia menatapku lamat-lamat. Seperti anak kecil yang sedang mendengar wejangan ibunya. Usia kami memang terpaut 10 tahun. Jadi sejak kecil Kemal memang sangat menghormatiku. Meskipun saudara kandungnya ada, dia lebih nyaman berkeluh kesah padaku. Semasa kuliah dulupun begitu. 

"Pasangan kita, apakah itu suami ataupun istri, dia adalah cermin diri kita. Pantulan diri dan sikap kita. Artinya apa? Jika kita baik, menjaga sikap, berupaya terus dari hari ke hari menjadi manusia yang lebih baik, pasti lama kelamaan akan berimbas pada pasangan kita," ulasku. Sampai disini kalimat kutahan, sambil melihat reaksi ayah satu anak ini.

Dia menarik ujung bibir sebelah kiri dengan tetap memainkan tali plastik yang sedari tadi dipegangnya. Burung-burung nakal kembali mengintai. Agaknya bulir-bulir padi kami demikian menggiurkan mereka. Cepat kutarik tali itu kembali. Kletak kletok..., bunyi kaleng yang beradu satu sama lain kembali mengejutkan. Makhluk kecil bersayap itu kembali terbang. 

"Tadi kamu bilang apa? Pengen istri sholehah?. Kalau boleh Uni tahu, sebesar apa upayamu untuk menjadi sholeh, Mal? Sholat diujung waktu, sering membentak, ga betah dirumah, sekali pulang sibuk dengan handphone, satu lagi..asap rokok selalu mengepul bak dapur berkayu api!" lagi-lagi kuserang dia dengan peluru bertubi-tubi. 

Kali ini dia tersentak, sedikit heran kenapa aku bisa tahu semua itu. Tapi dia terlalu hormat padaku untuk sekedar bertanya darimana kudapat informasi. 

"Sekarang begini saja, Kemal. Coba kamu renungkan bagaimana selama ini sikapmu sebagai suami. Istri juga butuh dihargai. Selembut-lembutnya wanita, pasti dia akan jengah jika sering dikasari. Jaga perasaannya, jangan sakiti hatinya. Ketenangan dalam keluarga akan mengundang keberkahan. Jika sudah demikian, mawaddah dan rahmah itu akan hadir dengan sendirinya. Sekarang kamu pulanglah..kasihan Tsabita. Dia pasti rindu dengan ayahnya," kusodorkan ransel butut disudut pondok yang tadi dibawanya. 

Dia tak menjawab, tetapi sembari menyandang ransel ke pundaknya, dia berdiri dan berucap, "terimakasih ya, Ni..,". 

"Heeii..kamu mau kemana?" teriakku demi melihat langkah cepatnya.

"Aku mau pulang, Uni..Tsabita menungguku..,"jawabnya sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan.

"Alhamdulillaah..jagalah pernikahan mereka, ya Allah" batinku.




#Fiksi

*Uni ; Kakak perempuan (bahasa Minang)

4 komentar: