"Ini Vinny, Mi.. Pi", Mas Tomy memperkenalkanku santun. Dengan sopan kutersenyum pada mereka sambil mengulurkan tangan. Belum sampai disambut, Maminya Mas Tomy cepat-cepat mempersilahkan duduk. Sementara Papinya tak mengalihkan pandangan sedikitpun dari koran yang sedang dibaca. Aku sedikit linglung. Sejenak suasana hening. Yang terdengar hanyalah detak jarum jam yang mengiringi irama degup jantungku.
Sesungguhnya perasan gugup seperti ini bukanlah karakter seorang Vinny. Aku adalah seorang gadis periang dan penuh percaya diri. Dulu di kampus, aku cukup dikenal. Selain seorang aktivis, Si Mbok juga mewariskan raut cantik di wajahku. Setidaknya begitulah kata teman-teman. Hanya saja, karna beban dan pahitnya hidup yang kerap mendera, Si Mbok ku kelihatan lebih tua dari usianya. Jika dibandingkan dengan wanita lima puluh tahunan dihadapanku ini, tentu dia kelihatan lebih cantik, terawat pastinya.
Tak biasa ku diperhatikan sedetail ini. Tatapan Maminya Mas Tomy seolah-olah sedang mengamati kemasan biskuit di swalayan. Dilihat tanggal kadaluarsanya, komposisinya dan bila perlu izin produksinya. Ya, Allah...sedang berada dimana aku ini, batinku. Jam dinding seakan rusak, seolah waktu tak bergerak.
"Sudah lama mengenal, Tomy?", tanya sang Nyonya
"Vinny, Mi..", sela Mas Tomy. Aku tau Mas Tomy mulai risih dengan sikap kedua orangtuanya.
Tanpa menunggu koreksi, ku jawab saja , " Mas Tomy senior saya, Tante. Kami dulu kuliah di jurusan yang sama. Saya kenal Mas Tomy sejak awal kuliah, tepatnya saat masa orientasi".
"Saya tahu itu",sambutnya menimpali.
Kalimatku dipotong bak seorang penebang kayu yang dengan sekali ayun berhasil menebas dahan.
Ku alihkan pandangan pada lelaki yang sedari tadi begitu khusuk membaca koran. Seolah-olah saat ini sedang tidak ada siapa-siapa. Entah karna memang sangat hobi membaca atau sama sekali tidak tertarik dengan kehadiranku, ia tak hendak bergeming.
Aku adalah wanita perasa, dari gestur dan sambutan kedua orang tua Mas Tomy terlihat jelas kalau mereka telah mengetahui latar belakang kehidupanku. Seorang gadis yang terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Abah yang seorang supir angkot dan si Mbok pedagang makanan di pasar. Beruntung sekali beliau dianugerahi tiga orang anak yang cerdas dan bersemangat, sehingga mampu menakhlukan universitas bonafid di kota ini. Kami kakak beradik juga sangat bangga pada Abah dan Si mbok. Pendidikan mereka tidak tinggi, tetapi mind set nya bagus. Kedua pahlawan ku ini tak pernah mengeluh didepan kami, hingga terkadang kami lupa, apa itu kemiskinan.
" Jadiiii...oya, siapa namanya tadi?, oya Vinny ya?" lanjut Sang Mami.
"Sebetulnya saya sudah dapat cerita panjang lebar tentang kamu dari Tomy. Beruntung sekali kamu bisa berteman dengan anak saya. Hanya saja, kamu harus tahu..dunia tak selalu indah seperti yang kamu fikir. Ok, saya sebentar lagi ada janji dengan relasi. Mari, Pap..". Sambil berdiri dia mengajak suaminya segera berangkat. Lelaki berkaca mata tebal itu segera melipat koran, tanpa melihat kepadaku sedikitpun, mereka berdua berlalu. Angkuh!
Allah..apakah aku sedang berada di alam mimpi? Ataukah ini hanya sebuah shooting sinetron yang sering tayang di televisi?. Sepahit-pahitnya hidupku belum pernah kumerasa dilecehkan seperti ini. Jika waktu bisa diputar dua jam saja kebelakang, ingin ku pegang wejangan si mbok yang melepasku dengan penuh keraguan. Takkan kubiarkan hati dan pendengaranku dirusak oleh kalimat yang sedemikian tajam. Tapi apa mungkin? realitanya saat ini aku sedang berada disini. Di iris dan ditumis.
Ku raih tas tanpa menghiraukan permintaan maaf Mas Tomy. Bahkan ketika ia berusaha mengejar, secepat itu juga ku berlari menuju taksi.
Mbok, aku butuh pelukanmu.
"Aku pulang..
Tanpa dendam
Ku terima, kekalahanku
Aku pulang..
Tanpa dendam..
Ku salutkan..
Kemenanganmu.."
Lirik lagu Sheila On Seven seakan tepat mewakili perasaanku saat ini.
Perih!
(bersambung)