Dingin sekali, kembali kutarik
selimut rapat-rapat. Berharap malam masih panjang sehingga pagi tak buru-buru
memaksaku agar segera bangkit dari tempat tidur. Rutinitas terkadang membuatku
lelah. Apalagi sekarang pekerjaan kantor sangat banyak. Sampel dari berbagai
produk setiap hari menanti untuk disentuh, diperiksa dan dilaporkan. Aku dan
tim biasanya memang sangat menikmati pekerjaan ini. Tapi sesekali, jenuh
pastilah ada. Karena Vinny juga manusia.
Sesaat mata kupejamkan kembali,
tubuh yang meringkuk dibalik selimut tak tahan dengan dingin yang menusuk. Dari
kamar sebelah sayup terdengar alunan tilawah dari seseorang yang suaranya tak
asing lagi. Setiap ayat demi ayat yang dibacanya seumpama hangatnya mentari
yang merasuk lembut ke relung hatiku. Suara lembut dengan makraj huruf yang jelas.
Aku tahu, itu suara Nia. Gadis
berkacamata minus yang memang selalu tidur lebih awal dan bangunpun lebih dulu.
Setelah qiyamul lail biasanya Nia
memang selalu tilawah sembari menunggu waktu subuh. Hidupnya begitu teratur.
Tenang dan kelihatan nyaris tanpa riak. Dia sangat menikmati setiap sujud
panjangnya. Pernah suatu hari diam-diam kuintip dari celah pintu. Dia sedang
berdoa sambil terisak. Entah apa yang diadukannya pada Allah. Tapi terlihat
jelas, betapa Nia sangat menikmati curhat
pada sang Maha Kuasa. Tanpa sadar, Nia adalah guru bagiku. Guru spiritual,
lewat teladannya dikeseharian.
***
“Vinny, kamu apa kabar? Jarang
banget nelfon aku. Sibuk ya, Non?” suara nyaring Lina memberondongku dengan
pertanyaan. Aku tertawa. Pertanda betapa aku rindu padanya. Ingat bagaimana
perjuangan kami selama bekerja di Jakarta.
Aku bahkan takkan pernah lupa dengan dia yang selalu ada untukku dalam
suka maupun duka. Ah, Lina. Sahabatku.
“ Aku baik-baik saja, Lin. Kamu
disana gimana?” balik kubertanya.
“Alhamdulillaah, baik Vin. Tapi
biasalah..berburu target-target kerja yang tak berkesudahan. Apalagi jelang
akhir tahun? Kebayang kan?” jawabnya.
“Iya, aku tahu. Bahkan bagaimana
tampangmu saat lagi suntuk karena pekerjaanpun aku tahu..hahaha” ga tahan
kugoda Lina.
“ Tampang manis pastinya”
balasnya tak mau kalah. Lalu kami sama-sama tertawa lepas. Sejenak senyap. Lalu
sesi kedua kami lanjutkan. Seperti biasa. Dari dulu hingga sekarang. Apa itu?
Sesi curhat.
“Lina, coba deh sekarang kamu
liat foto terbaru yang kukirim ke BBM mu barusan..”. Sebuah gambar memang baru
kukirim. Dan aku ingin Lina mengomentarinya.
“Vinny...kamu dapat hidayah dari
mana?, cantik. Lebih anggun malah. Sejak kapan?. Kamu yakin bisa istiqomah?
Jangan main-main lho, jangan sekedar ngikutin trend”. Lagi-lagi Lina
memberondongku dengan pertanyaan yang diiringin sorakan histerisnya.
“Aku harus jawab yang mana dulu
ini, Lin?” potongku.
“Terserah aja deh, yang penting
semua pertanyaanku kamu jawab dengan tuntas, gamblang dan terpercaya” jawabnya
meminjam tagline sebuah infotainment.
“Sejak 2 hari yang lalu, Lin.
Persis dihari ulang tahunku. Insyaallah.
Aku hijrah bukan karena saat ini lagi trend jilbab syar’i. Tapi ini buah dari
pencarian dan pergolakan batinku sejak 6 bulan yang lalu. Aku baca,
kudiskusikan, kuperhatikan, kupertimbangkan dan akhirnya kuputuskan. Aku sangat
yakin, ketika Allah perintahkan dalam Alqur’an untuk menjulurkan jilbab dari
punggung hingga ke dada, tujuannya adalah untuk menjaga kehormatan wanita. Aku
sekarang sudah 27 tahun, Lin. Siapa yang menjamin usiaku sampai di angka 28, 29
atau 30 tahun. Bahkan sedetik kedepanpun
kita tidak tahu apa yang terjadi. Aku menyesal telah banyak membuang-buang
waktu. Agama yang kuyakini sedari dulu takku pelajari dengan sempurna. Aku
bersyukur bisa Allah pertemukan dengan Nia. Lewat dia Allah kirimkan hidayah
padaku. Aku banyak dipinjamkan buku-buku agama. Setiap ada yang tak kumengerti
selalu dijawabnya dengan lugas dan jelas. Aku melihatnya mengikuti kajian tiap
minggu. Dia bilang, itu halaqoh, tempat mengcas semangat untuk lebih giat lagi
beribadah. Dia tak banyak bicara. Tapi taqwanya membias.” Panjang lebar
kujelaskan pada Lina rasa ini. Dia pasti tidak tahu, kalau saat ini ada bulir
hangat yang jatuh dipipiku.
“Subhanallaah, Vin. Aku turut
bahagia mendengarnya. Semoga Allah juga memberi kesempatan padaku untuk
menjemput hidayahnya” parau kudengar suara Lina diseberang sana. Aku sangat
mengenalnya. Meskipun sedikit tomboy dan cuek, Lina perasaannya sangat halus.
Dia mudah terharu dan tersentuh.
“Aamiin..allahumma aamiin”
jawabku cepat.
“Oya, Vin. Apa komentar Bang
Fadhil liat perubahan penampilanmu?”, iseng Lina kumat lagi. Aku ingat, kalau
beberapa kali aku pernah cerita tentang ikhwan bernama Alfadhil seorang high quality jomblo dikantor padanya.
“Lin, ingat ya..aku hijrah bukan
karena dia tapi karna-NYA. Allah semata,” jawabku kesal.
“Heiii..jangan marah, Non..aku
kan cuma nanya komentarnya..haha,” goda Lina lagi.
“Tidak ada. Udah dulu yaa...aku
mau beres-beres dulu..assalamu’alaikum Lina cantik” potongku.
“Wa’alaikumsalam...” jawab Lina
diseberang sana. Klik.
Aku tersenyum sembari menutup
telfon. Sekilas memang terlintas bayangan Bang Fadhil yang menatapku dari
kejauhan sesaat setelah aku masuk kantor dengan penampilan baru.
Cepat-cepat ku istighfar. Sembari berdoa pada-NYA, agar
senantiasa menjaga niat semula yang hanya karna-NYA. Kembali ku teringat
kalimat dari sebuah buku yang kemaren kubaca “Jika kita hijrah karna sebab
selain Allah, maka semua akan hilang bersama hilangnya sebab itu”. Dan aku
tidak inginkan itu.
(Bersambung)