Rabu, 27 April 2016

Aku Rindu Ayahku, Bunda..



Usiaku baru memasuki 5 tahun. Masih sulit bagiku untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Yang aku tahu, 3 bulan lalu ayah masih memancing, bermain layangan dan sesekali berguling di tempat tidur main perang-perangan bersamaku. Tidak jarang Bunda marah karena kami telah membuat rumah jadi berantakan.

Ayah memang sangat menyayangiku. Beliau tidak marah meskipun aku main tanah. Beda dengan Bunda yang menginginkan aku selalu tampil bersih. Kotor sedikit Bunda berteriak histeris. "Ayo, segera cuci tangan, nanti kamu cacingan!". Meskipun begitu, aku tahu, itu karena Bunda sayang pada anak satu-satunya ini. Aku masih ingat, ketika seminggu lalu demam tinggi menyerangku, Bunda tak tidur semenitpun dimalam hari. Mengompres dan mendekapku. Malah Bunda berbisik di telingaku, "pindahkan saja sakitmu pada bunda, Nak. Biar Bunda yang merasakannya". Ah, Bunda, begitu besar kasihmu, aku juga sayang padamu.

Tapi pagi ini aku betul-betul tak tahan lagi, Bun. Semenjak hari itu, ketika Bunda dan Ayah bertengkar hebat, aku tak pernah lagi ketemu ayah. Lelaki yang aku sayangi itu pergi dari rumah. Aku tak mengerti masalahnya apa, yang aku tahu, setiap kali kubertanya tentang ayah, kukatakan betapa aku merindukan ayah, ibu selalu marah. "Ayahmu sudah mati!, jangan tanyakan tentang dia lagi!. Bahkan terkadang nenekpun ikut-ikutan meredam kegelisahanku, " Daffa, Kamu jangan tanya tentang ayahmu lagi ya. Kalau mau jalan-jalan, main atau minta dibeliin apa, tinggal bilang saja sama nenek. Nanti ada om Ari juga yang bisa ajak kemanapun kamu suka". Nenek mengusap-usap kepalaku. Tetapi semua bujukan itu tak membuat rindu pada ayahku berkurang.

Aku tidak tahu, siapa yang jahat sebetulnya. Entah ayah, bunda atau ada orang lain yang tak menginginkan kita bahagia. Tetapi keadaan ini sangat menyiksaku, bun. Setiap sore, kulihat Fathan bermain bersama ayahnya. Yang bikin aku semakin rindu ayahku adalah, ketika Fathan melambaikan tangannya saat sedang duduk dibelakang ayahnya yang mengendarai sepeda motor. "Daffa...aku ke pantai dulu ya..", teriaknya. Pantai?, aku mau kesana bunda..bermain bola dan pasir bersama ayahku. Bukan bersama Om Ari atau Tante Tika adik-adik kesayangan bunda itu. 

Ayah..kamu dimana?, kenapa sampai saat ini tidak pulang jua. Aku merindukanmu ayah. Aku menggigau memanggilmu saat demam tinggi kemaren, itu karena aku sangat ingin merasakan pelukanmu seperti dulu. Sebetulnya ada masalah berat apa antara ayah dan bunda hingga aku menjadi tak berharga? Aku bingung ayah..aku sedih bunda..

Mengertilah wahai orang-orang dewasa..
Aku rindu keadaan seperti semula. Ketika ayah, bunda dan aku tetawa lepas bermain bersama..
Mengertilah..





*Mengingat tatapan sendu Malaikat kecil sore itu, 270416



3 komentar:

  1. Aku mengerti perasaanmu nak... duh uni... menyayat hati dech... sangat inspiratif!

    BalasHapus
  2. Teeimakasih, Mbak Indri..cerita ini berangkat dari rasa kasihan melihat anak2 yang termenung sayu akibat perceraian ayah bundanya..

    BalasHapus