Sabtu, 09 April 2016

Ini Sesalku, Tidak Untuk Ditiru!


“Kamu hobi menulis bukan? Ikutilah organisasi kepenulisan. Seingat saya, di kampus kita sering diadakan semacam pelatihan atau seminar tentang ini, tanya saja sama anak-anak Genta Andalas," ujar penasehat akademik yang hari itu kutemui untuk diskusi urusan perkuliahan. Dosenku ini memang perhatian, bahkan biodata kami sebagai bimbingannya ditelaah satu-persatu. Beliau tak segan-segan untuk memanggil kami hanya untuk menyampaikan strategi menjadi mahasiswa ideal. Akademik oke, organisasi juga oke.

Pandangan beliau kutanggapi dengan anggukan sekedar untuk menghargai, tanpa ada niat sedikit pun untuk menindaklanjutinya, apalagi dengan rasa antusias. Menjadi mahasiswa yang organisatoris? Halaaaaah, buat apa? Kalo ujung-ujungnya jadi MaPaLa (Mahasiswa Paling Lama). Setia bertahun-tahun di kampus, sibuk ini, sibuk itu tanpa memikirkan nilai akademik. Alih-alih  memberi justifikasi jika teman seangkatan sudah wisuda. Ketika orang tua bertanya kapan tamat, dengan sangat meyakinkan berdalih, “Dia, kan, sekedar kuliah saja, Bu. Tak ikut kegiatan apa-apa dikampus. Tapi ,ibu lihat saja nanti, karakter kami berbeda. Jiwa saya terbentuk lewat organisasi. Lha, dia ngomong didepan umum aja demam panggung, keringat dingin bercucuran, wajah pucat seperti bulan kesiangan, ga banget deh Bu. Beda, pengalaman saya jauh lebih banyak”.

Sungguh aku tidak mengada-ada. Kalimat itu pernah  kudengar langsung. Dan sejak itulah aku antipati dengan yang namanya organisasi. Tamat S-1 dengan masa aktif kuliah selama 7 tahun itu bagiku sangat memalukan. Ga ingat apa, orangtua rindu anaknya wisuda. Ga peduli jugakah kita dengan adik-adik yang juga harus masuk kuliah dan dengan tertunda-tundanya wisuda kita, itu akan membebani orangtua lebih berat lagi dari segi biaya. Baiklah, mungkin kita anak bungsu dan dari keluarga kaya tak kekurangan satu apapun, tapi kelamaan jadi mahasiswa bukankan menambah usia? aiiiih...keburu tuiiiir keleees. Tidak! Maaf, pak Dosen, kali ini saran bapak kuabaikan. Meskipun aku memang hobi menulis.

Semasa sekolah guru Bahasa Indonesia sering mengatakan bahwa aku punya bakat menulis. Ikut beberapa perlombaan sejak SMP, karya pertamaku berjudul “ Buah Nusantara”. Waktu itu Papa yang membimbingku. Masih disimpan penghargaannya, meskipun tak juara I, tapi aku dapat sertifikat yang ditandatangani Gubernur Sumatera Barat dimasa itu, Bapak Hasan Basri Durin. Aku tak pernah mengikuti kegiatan apapun untuk mengasah bakatku. Yang kulakukan hanyalah menulis semua rasa dalam buku diary. Seingatku hampir sepuluh buku yang penuh dengan coretan. Apakah itu tentang suka, duka, kesal, bahagia, mimpi, asa, harapan dan cinta. Semua tertuang disana. Bahkan jika kubaca kembali, semua yang kutulis mirip rangkaian doa. Karena penutupnya selalu dimuarakan pada-NYA.

Alhamdulillah, karena fokus pada urusan akademik, aku wisuda sesuai target. 4 tahun untuk merampungkan S-1 Farmasi dan ditambah 1 tahun menyelesaikan program Profesi Apoteker. Bukan prestasi yang gemilang juga sebetulnya, tetapi aku bahagia, Farmasi mampu kutaklukkan tanpa harus berteman dengan  “hantu” laboratorium saking lamanya.

Kasih sayang Allah begitu berlimpah. Tak dibiarkan-NYA ilmuku mengendap lama. Oktober sumpah Apoteker, November bulan berikutnya ikut Tes PNS. Desember aku dinyatakan lulus sebagai Pegawai Negri Sipil di sebuah Pemko. Ditahun yang sama. Aku bangga bisa membuat orangtua bahagia.

Memasuki dunia kerja banyak tantangannya. Pergaulan lebih majemuk. Usia dan profesi lebih beragam. Perlu ilmu untuk mengelola emosi, seni berteman, bicara, bekerja dalam tim, manajemen konflik dan sebagainya. Aku yang monoton dan semasa kuliah sibuk dengan “keakuan” ku mulai tersadar, mungkin ini yang dinasehatkan oleh dosen dan seniorku dulu. Character Building bisa terbentuk dengan berorganisasi. Kejenuhan bisa disiasati dengan menekuni hobi. Sehingga hidup lebih bervariasi dan warna-warni seperti pelangi.

Duuaaaaar... ! Aku seperti dibangunkan oleh gelegar petir. Sekonyong-konyong tubuhku terasa lunglai demi mengingat tahun-tahun yang telah terlewati. Aku yang fokus pada satu pintu disaat pintu-pintu lain membentang lebar. Aku yang melewatkan berbagai momen untuk meraup ilmu lain selain ilmu farmasi. Aku yaaaang...ah, sesal itu seakan menikamku. Tapi aku takkan mati olehnya, karena aku tersadar disaat mataku belum tertutup. Disaat masih bugar dan bersemangat.

Perlahan kuikuti organisasi, kupacu ketinggalan. Belajar ber “public speaking”. Memupuk rasa percaya diri. Selalu berusaha menyisihkan waktu untuk memfasilitasi hobi. Aku teringat kembali tentang menulis.

Kagum pada penulis yang buku-bukunya sering kubaca, menghadirkan tekad untuk tidak mau menua tanpa karya. Pernah kudengar, ada 2 cara untuk menjadi orang yang namanya lebih panjang dikenang daripada usianya. Pertama artis, kedua penulis. Hehhe, artis? Rasanya tidak mungkin. Tidak ada peluang kearah sana. Biarlah itu menjadi jalan orang-orang yang punya bakat saja. Sedangkan menjadi penulis, meskipun sulit bagiku, tapi itu jauh lebih mungkin. Oke, menulis. Ini akan ku jadikan sebentuk pelangi yang mewarnai rutinitasku. Tak buru-buru berfikir jauh, karena cukup bagiku untuk menyalurkan hobi saja. Dikala penat dengan aroma zat kimia setiap hari.

Pagi itu, kutembus rinai pagi. Tak peduli kaos kaki yang basah karna cipratan air yang menggenang. Diantar suami kumelangkah menuju gedung pertemuan. Baru masuk kulihat spanduk bertuliskan “ Open Recruitment Anggota FLP Sumatera Barat. Hmmm, rame. Rata-rata yang hadir mahasiswa. Kembali perih menusuk hati, kali ini lebih sakit lagi, ketika melihat pematerinya adalah penulis yang usianya sebaya denganku, tetapi telah menelurkan beberapa buku. Andai saran dosen ketika ku masih semester satu dulu dituruti, tentu aku tak seterlambat ini. Belajar bersama mahasiswa baru yang jauh lebih segar dan kreatif. “Ah, biarlah. Usia kita boleh beda, dek..tapi jiwa dan semangatku muda seperti kalian”, batinku membujuk hati.

Memang benar kata orang bijak yang pernah kubaca “ Ujian setelah hijrah itu adalah istiqomah”. Ketika tersadar dengan segala ketertinggalan, kuputuskan untuk berhijrah. Pindah dari aku yang malas melatih diri dan mengasah bakat, menjadi orang yang mau memberikan ruang untuk memfasilitasi hobi. Bagiku ini juga termasuk hijrah. Tapi ujiannya berat teman, rutinitas membuatku lelah, hingga aku tidak bisa menghadiri pertemuan dwi mingguan yang dijadikan persyaratan. Jadilah kukembali terdampar dilokasi minim tantangan. Istiqomahku dipertanyakan. Menulis tanpa target. Tanpa teori. Orang berlari kuberjalan, orang disiplin sedangkan aku memaafkan diri berkali-kali.

Menjadi Penulis itu tidak mudah, sangat tidak mudah. Latihan itu mutlak. Berleha-leha memanjakan mood berhari-hari, mengandalkan suasana hati ketika memulai menulis, bersiaplah menggali kuburan untuk memendam mimpi menjadi penulis.

Kembali ku tertinggal jauh dibelakang, sekedar menjadi pembaca untuk sebuah antologi, yang diterbitkan dari kumpulan tulisan teman-teman FLP ku dulu. Padahal saat itu aku ada diantara mereka. Semangat diawal takku pelihara.

Tapi itulah aku. Seorang yang tak pernah buru-buru mencoret list mimpi. Aku membaca dan sesekali menulis di blog yang dulu pernah kubuat. Tapi seperti bis umum yang berjalan pelan ketika tak ada lawan searah. Baru bisa melesat kencang saat lawan sudah didepan. Akupun butuh tantangan. Aku butuh komunitas yang mengingatkan, memotivasi, mengkritik dan menumbuhkanku. Dan yang paling penting menjaga “keistiqomahanku”.

Sampai akhirnya, tanggal 10 Januari, Allah mengarahkan mataku pada sebuah informasi di wall facebook seorang teman. ODOP. Singkatan yang mengingatkanku pada sebuah komunitas orang -orang yang berkomitmen membaca Alqur'an 1 Juz sehari. ODOJ ; One Day One Post. 

Penasaran, kubuka link informasinya. Ternyata memang benar, ODOP itu adalah sebuah komunitas orang-orang yang berkomitmen untuk menulis setiap hari. Kenapa setiap hari? Tujuannya adalah untuk membiasakan diri menulis, dengan demikian diharapkan latihan tersebut akan mampu menjadi sarana untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas.

Pencetusnya adalah Bang Syaiha. Seorang penulis yang menurutku sangat unik. Dikatakan begitu karena melihat keinginannya yang besar untuk memotivasi orang lain untuk menulis. Menulis untuk keabadian. Demikian slogan yang selalu beliau sampaikan.

Ya, keesokkan harinya aku sudah bergabung dengan komunitas ODOP (One Day One Post). Kami diarahkan dan dibimbing untuk menulis setiap hari. Dari 6 baris menjadi setengah halaman A4. Dari Tema bebas sampai tema khusus. Dari cara membuat judul yang menarik sampai analogi yang bikin tulisan apik

Memasuki bulan ketiga belajar bersama di komunitas ini,banyak sekali yang kuperoleh. Tidak saja ilmu kepenulisan, tetapi juga persahabatan. Kami memang dituntut untuk memberi kritik dan saran untuk tulisan yang mendapat giliran "dibantai", tetapi tidak seorangpun yang mengkritik dengan bahasa pedas dan menjatuhkan mental. Bahkan penulis sekelas Bang Syaiha pun tak pernah membuat kami patah semangat, beliau selalu memotivasi, memberi masukan tanpa mematikan benih yang sedang tumbuh. Itulah yang menjadi alasan kenapa aku begitu nyaman belajar di komunitas ini.

Subhanallah..Tidak terasa, sejak 26 Januari aku menulis di blog, sampai hari ini sudah tersimpan 63 tulisan sederhanaku dengan hampir mendekati angka 16 ribu kali penanyangan. Jika dijumlahkan dengan tulisan sejak tanggal 11 Januari, sudah ada 78 tulisan. Jika dibaca, mungkin tulisanku masih sangat jauh dari sempurna, namanya juga pemula. Tapi ketika bertemu denganku ada orang yang berkomentar  ;

 “Helen, tulisannya sering bikin Uni terharu, sangat menyentuh “
“Helen ini berbakat menulis, ketika saya baca seakan-akan saya berada didalamnya”
“Ditunggu ya, Len..tulisannya, uni mengikuti blog mu”
“Tulisan ibu bagus, boleh saya share di web Pemko?”
“Makasih, ya..tulisannya tentang antibiotika bermanfaat banget”
“Helen, tulisanmu bikin pensaran, judulnya eye catching banget” 

Dan komentar-komentar lainnya. Mungkin kesannya lebay karna jujur, tulisanku masih sangat simpel dan belum sesuai kaidah kepenulisan. Tapi sebagai pemula, aku semakin termotivasi untuk terus belajar. Mimpiku adalah untuk menebar jaring-jaring kebaikan melalui tulisan. Soal kemana muaranya, biarlah Allah yang menentukan. Semoga ada karya sebelum menutup mata. Support penuh dari suami tentu menjadi energi bagiku.

Untuk teman-teman yang mau belajar menulis, mulailah action sesegera mungkin. Untuk sahabat sesama penulis pemula sepertiku, teruslah berlatih dan jangan mudah letih. Tulislah dan membacalah. Dengan demikian cepat atau lambat tulisanmu akan menemui takdirnya. Demikian nasehat yang selalu teringat. Jangan tiru sesalku atas kondisi koma yang teramat lama ini. Baru tersadar sekarang, disaat fikiran sudah mulai bercabang-cabang. Semoga itu tak menjadi penghalang.

Selamat Berkarya..

Padang, 100416 

2 komentar:

  1. Jadi tahu kronologisnya... ternyata sudah bakat dari kecil yah hehe... uni... kasihan dong mahasiswa yg lulus 7 tahun itu... hehe...

    BalasHapus