“Kamu
hobi menulis bukan? Ikutilah organisasi kepenulisan. Seingat saya, di kampus
kita sering diadakan semacam pelatihan atau seminar tentang ini, tanya saja
sama anak-anak Genta Andalas," ujar penasehat akademik yang hari itu kutemui
untuk diskusi urusan perkuliahan. Dosenku ini memang perhatian, bahkan biodata
kami sebagai bimbingannya ditelaah satu-persatu. Beliau tak segan-segan untuk memanggil
kami hanya untuk menyampaikan strategi menjadi mahasiswa ideal. Akademik oke, organisasi juga oke.
Pandangan
beliau kutanggapi dengan anggukan sekedar untuk menghargai, tanpa ada niat
sedikit pun untuk menindaklanjutinya, apalagi dengan rasa antusias. Menjadi
mahasiswa yang organisatoris? Halaaaaah,
buat apa? Kalo ujung-ujungnya jadi MaPaLa (Mahasiswa Paling Lama). Setia
bertahun-tahun di kampus, sibuk ini, sibuk itu tanpa memikirkan nilai akademik.
Alih-alih memberi justifikasi jika teman
seangkatan sudah wisuda. Ketika orang tua bertanya kapan tamat, dengan sangat meyakinkan berdalih, “Dia, kan, sekedar kuliah saja, Bu. Tak ikut
kegiatan apa-apa dikampus. Tapi ,ibu lihat saja nanti, karakter kami berbeda. Jiwa saya terbentuk lewat organisasi. Lha, dia ngomong didepan umum aja demam
panggung, keringat dingin bercucuran, wajah pucat seperti bulan kesiangan, ga banget
deh Bu. Beda, pengalaman saya jauh lebih banyak”.
Sungguh
aku tidak mengada-ada. Kalimat itu pernah kudengar langsung. Dan sejak itulah aku
antipati dengan yang namanya organisasi. Tamat S-1 dengan masa aktif kuliah
selama 7 tahun itu bagiku sangat memalukan. Ga ingat apa, orangtua rindu
anaknya wisuda. Ga peduli jugakah kita dengan adik-adik yang juga harus masuk
kuliah dan dengan tertunda-tundanya wisuda kita, itu akan membebani orangtua
lebih berat lagi dari segi biaya. Baiklah, mungkin kita anak bungsu dan dari
keluarga kaya tak kekurangan satu apapun, tapi kelamaan jadi mahasiswa bukankan
menambah usia? aiiiih...keburu tuiiiir
keleees. Tidak! Maaf, pak Dosen, kali ini saran bapak kuabaikan. Meskipun
aku memang hobi menulis.
Semasa
sekolah guru Bahasa Indonesia sering mengatakan bahwa aku punya bakat menulis.
Ikut beberapa perlombaan sejak SMP, karya pertamaku berjudul “ Buah Nusantara”.
Waktu itu Papa yang membimbingku. Masih disimpan penghargaannya, meskipun tak
juara I, tapi aku dapat sertifikat yang ditandatangani Gubernur Sumatera
Barat dimasa itu, Bapak Hasan Basri Durin. Aku tak pernah mengikuti kegiatan
apapun untuk mengasah bakatku. Yang kulakukan hanyalah menulis semua rasa dalam
buku diary. Seingatku hampir sepuluh buku yang penuh dengan coretan. Apakah itu
tentang suka, duka, kesal, bahagia, mimpi, asa, harapan dan cinta. Semua
tertuang disana. Bahkan jika kubaca kembali, semua yang kutulis mirip rangkaian doa. Karena penutupnya selalu dimuarakan pada-NYA.
Alhamdulillah, karena fokus pada urusan akademik, aku wisuda sesuai target. 4 tahun untuk
merampungkan S-1 Farmasi dan ditambah 1 tahun menyelesaikan program Profesi
Apoteker. Bukan prestasi yang gemilang juga sebetulnya, tetapi aku bahagia,
Farmasi mampu kutaklukkan tanpa harus berteman dengan “hantu” laboratorium saking lamanya.
Kasih
sayang Allah begitu berlimpah. Tak dibiarkan-NYA ilmuku mengendap lama. Oktober
sumpah Apoteker, November bulan berikutnya ikut Tes PNS. Desember aku
dinyatakan lulus sebagai Pegawai Negri Sipil di sebuah Pemko. Ditahun yang
sama. Aku bangga bisa membuat orangtua bahagia.
Memasuki
dunia kerja banyak tantangannya. Pergaulan lebih majemuk. Usia dan profesi
lebih beragam. Perlu ilmu untuk mengelola emosi, seni berteman, bicara, bekerja
dalam tim, manajemen konflik dan sebagainya. Aku yang monoton dan semasa kuliah
sibuk dengan “keakuan” ku mulai tersadar, mungkin ini yang dinasehatkan oleh
dosen dan seniorku dulu. Character
Building bisa terbentuk dengan berorganisasi. Kejenuhan bisa disiasati
dengan menekuni hobi. Sehingga hidup lebih bervariasi dan warna-warni seperti
pelangi.
Duuaaaaar... ! Aku
seperti dibangunkan oleh gelegar petir. Sekonyong-konyong tubuhku terasa
lunglai demi mengingat tahun-tahun yang telah terlewati. Aku yang fokus
pada satu pintu disaat pintu-pintu lain membentang lebar. Aku yang melewatkan
berbagai momen untuk meraup ilmu lain selain ilmu farmasi. Aku yaaaang...ah,
sesal itu seakan menikamku. Tapi aku takkan mati olehnya, karena aku tersadar
disaat mataku belum tertutup. Disaat masih bugar dan bersemangat.
Perlahan
kuikuti organisasi, kupacu ketinggalan. Belajar ber “public speaking”. Memupuk rasa percaya diri. Selalu berusaha
menyisihkan waktu untuk memfasilitasi hobi. Aku teringat kembali tentang
menulis.
Kagum
pada penulis yang buku-bukunya sering kubaca, menghadirkan tekad untuk tidak mau
menua tanpa karya. Pernah kudengar, ada 2 cara untuk menjadi orang yang namanya
lebih panjang dikenang daripada usianya. Pertama artis, kedua penulis.
Hehhe, artis? Rasanya tidak mungkin. Tidak ada peluang kearah sana. Biarlah
itu menjadi jalan orang-orang yang punya bakat saja. Sedangkan
menjadi penulis, meskipun sulit bagiku, tapi itu jauh lebih mungkin. Oke, menulis.
Ini akan ku jadikan sebentuk pelangi yang mewarnai rutinitasku. Tak buru-buru berfikir jauh, karena cukup bagiku untuk menyalurkan hobi saja. Dikala penat
dengan aroma zat kimia setiap hari.
Pagi
itu, kutembus rinai pagi. Tak peduli kaos kaki yang basah karna cipratan air yang menggenang. Diantar suami kumelangkah menuju gedung pertemuan. Baru masuk kulihat
spanduk bertuliskan “ Open Recruitment
Anggota FLP Sumatera Barat. Hmmm, rame. Rata-rata yang hadir mahasiswa. Kembali perih menusuk
hati, kali ini lebih sakit lagi, ketika melihat pematerinya adalah penulis
yang usianya sebaya denganku, tetapi telah menelurkan beberapa buku.
Andai saran dosen ketika ku masih semester satu dulu dituruti, tentu aku tak
seterlambat ini. Belajar bersama mahasiswa baru yang jauh lebih segar dan
kreatif. “Ah, biarlah. Usia kita boleh beda, dek..tapi jiwa dan semangatku
muda seperti kalian”, batinku membujuk hati.
Memang
benar kata orang bijak yang pernah kubaca “ Ujian
setelah hijrah itu adalah istiqomah”. Ketika tersadar dengan segala
ketertinggalan, kuputuskan untuk berhijrah. Pindah dari aku yang malas melatih
diri dan mengasah bakat, menjadi orang yang mau memberikan ruang untuk
memfasilitasi hobi. Bagiku ini juga termasuk hijrah. Tapi ujiannya berat teman,
rutinitas membuatku lelah, hingga aku tidak bisa menghadiri pertemuan dwi
mingguan yang dijadikan persyaratan. Jadilah kukembali terdampar dilokasi minim
tantangan. Istiqomahku dipertanyakan. Menulis tanpa target. Tanpa teori. Orang
berlari kuberjalan, orang disiplin sedangkan aku memaafkan diri berkali-kali.
Menjadi
Penulis itu tidak mudah, sangat tidak mudah. Latihan itu mutlak. Berleha-leha
memanjakan mood berhari-hari,
mengandalkan suasana hati ketika memulai menulis, bersiaplah menggali
kuburan untuk memendam mimpi menjadi penulis.
Kembali
ku tertinggal jauh dibelakang, sekedar menjadi pembaca untuk sebuah antologi, yang diterbitkan dari kumpulan tulisan teman-teman FLP ku dulu. Padahal saat itu
aku ada diantara mereka. Semangat diawal takku pelihara.
Tapi
itulah aku. Seorang yang tak pernah buru-buru mencoret list mimpi. Aku membaca dan sesekali menulis di blog yang
dulu pernah kubuat. Tapi seperti bis umum yang berjalan
pelan ketika tak ada lawan searah. Baru bisa melesat kencang
saat lawan sudah didepan. Akupun butuh tantangan. Aku butuh komunitas yang
mengingatkan, memotivasi, mengkritik dan menumbuhkanku. Dan yang paling
penting menjaga “keistiqomahanku”.
Sampai
akhirnya, tanggal 10 Januari, Allah mengarahkan mataku pada sebuah informasi di wall facebook seorang teman. ODOP. Singkatan yang mengingatkanku pada sebuah komunitas orang -orang yang berkomitmen membaca Alqur'an 1 Juz sehari. ODOJ ; One Day One Post.
Penasaran, kubuka link informasinya. Ternyata memang benar, ODOP itu adalah sebuah komunitas orang-orang yang berkomitmen untuk menulis setiap hari. Kenapa setiap hari? Tujuannya adalah untuk membiasakan diri menulis, dengan demikian diharapkan latihan tersebut akan mampu menjadi sarana untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas.
Pencetusnya adalah Bang Syaiha. Seorang penulis yang menurutku sangat unik. Dikatakan begitu karena melihat keinginannya yang besar untuk memotivasi orang lain untuk menulis. Menulis untuk keabadian. Demikian slogan yang selalu beliau sampaikan.
Ya, keesokkan harinya aku sudah bergabung dengan komunitas ODOP (One Day One Post). Kami diarahkan dan dibimbing untuk menulis setiap hari. Dari 6 baris menjadi setengah halaman A4. Dari Tema bebas sampai tema khusus. Dari cara membuat judul yang menarik sampai analogi yang bikin tulisan apik.
Memasuki bulan ketiga belajar bersama di komunitas ini,banyak sekali yang kuperoleh. Tidak saja ilmu kepenulisan, tetapi juga persahabatan. Kami memang dituntut untuk memberi kritik dan saran untuk tulisan yang mendapat giliran "dibantai", tetapi tidak seorangpun yang mengkritik dengan bahasa pedas dan menjatuhkan mental. Bahkan penulis sekelas Bang Syaiha pun tak pernah membuat kami patah semangat, beliau selalu memotivasi, memberi masukan tanpa mematikan benih yang sedang tumbuh. Itulah yang menjadi alasan kenapa aku begitu nyaman belajar di komunitas ini.
Penasaran, kubuka link informasinya. Ternyata memang benar, ODOP itu adalah sebuah komunitas orang-orang yang berkomitmen untuk menulis setiap hari. Kenapa setiap hari? Tujuannya adalah untuk membiasakan diri menulis, dengan demikian diharapkan latihan tersebut akan mampu menjadi sarana untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas.
Pencetusnya adalah Bang Syaiha. Seorang penulis yang menurutku sangat unik. Dikatakan begitu karena melihat keinginannya yang besar untuk memotivasi orang lain untuk menulis. Menulis untuk keabadian. Demikian slogan yang selalu beliau sampaikan.
Ya, keesokkan harinya aku sudah bergabung dengan komunitas ODOP (One Day One Post). Kami diarahkan dan dibimbing untuk menulis setiap hari. Dari 6 baris menjadi setengah halaman A4. Dari Tema bebas sampai tema khusus. Dari cara membuat judul yang menarik sampai analogi yang bikin tulisan apik.
Memasuki bulan ketiga belajar bersama di komunitas ini,banyak sekali yang kuperoleh. Tidak saja ilmu kepenulisan, tetapi juga persahabatan. Kami memang dituntut untuk memberi kritik dan saran untuk tulisan yang mendapat giliran "dibantai", tetapi tidak seorangpun yang mengkritik dengan bahasa pedas dan menjatuhkan mental. Bahkan penulis sekelas Bang Syaiha pun tak pernah membuat kami patah semangat, beliau selalu memotivasi, memberi masukan tanpa mematikan benih yang sedang tumbuh. Itulah yang menjadi alasan kenapa aku begitu nyaman belajar di komunitas ini.
Subhanallah..Tidak terasa, sejak 26 Januari aku menulis di
blog, sampai hari ini sudah tersimpan 63 tulisan sederhanaku dengan hampir
mendekati angka 16 ribu kali penanyangan. Jika dijumlahkan dengan tulisan sejak
tanggal 11 Januari, sudah ada 78 tulisan. Jika dibaca, mungkin tulisanku masih
sangat jauh dari sempurna, namanya juga pemula. Tapi ketika bertemu denganku
ada orang yang berkomentar ;
“Helen,
tulisannya sering bikin Uni terharu, sangat menyentuh “
“Helen ini berbakat menulis, ketika
saya baca seakan-akan saya berada didalamnya”
“Ditunggu ya, Len..tulisannya, uni
mengikuti blog mu”
“Tulisan ibu bagus, boleh saya
share di web Pemko?”
“Makasih, ya..tulisannya tentang
antibiotika bermanfaat banget”
“Helen, tulisanmu bikin pensaran, judulnya eye catching banget”
Dan
komentar-komentar lainnya. Mungkin kesannya lebay karna jujur, tulisanku masih
sangat simpel dan belum sesuai kaidah kepenulisan. Tapi sebagai pemula, aku semakin
termotivasi untuk terus belajar. Mimpiku adalah untuk menebar jaring-jaring
kebaikan melalui tulisan. Soal kemana muaranya, biarlah Allah yang menentukan.
Semoga ada karya sebelum menutup mata. Support penuh
dari suami tentu menjadi energi bagiku.
Untuk
teman-teman yang mau belajar menulis, mulailah action sesegera mungkin. Untuk sahabat
sesama penulis pemula sepertiku, teruslah berlatih dan jangan mudah letih. Tulislah dan membacalah. Dengan demikian cepat atau lambat tulisanmu akan menemui takdirnya. Demikian nasehat yang selalu teringat. Jangan tiru
sesalku atas kondisi koma yang teramat lama ini. Baru tersadar sekarang, disaat
fikiran sudah mulai bercabang-cabang. Semoga itu tak menjadi penghalang.
Selamat
Berkarya..
Padang,
100416
Jadi tahu kronologisnya... ternyata sudah bakat dari kecil yah hehe... uni... kasihan dong mahasiswa yg lulus 7 tahun itu... hehe...
BalasHapusKeceee bana uni...
BalasHapus